KITAB PUASA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم : لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَينِ الأَرْجُلُ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Janganlah
kalian mendahului (masuknya) bulan Ramadan dengan berpuasa satu atau dua hari
sebelumnya, kecuali orang yang sudah biasa berpuasa, maka boleh ia berpuasa
(pada hari tersebut)." (Muttafaqun ‘alaih)
Penjelasan
Hadits:
1. Larangan
Mendahului Puasa Ramadan: Hadits ini mengajarkan agar umat Islam tidak berpuasa satu
atau dua hari sebelum masuknya bulan Ramadan. Larangan ini bertujuan agar umat
Islam tidak merasa ragu tentang kapan sebenarnya dimulainya bulan Ramadan. Ini
juga membantu memastikan bahwa puasa Ramadan dimulai pada waktunya yang pasti.
2. Pengecualian
untuk Puasa Sunnah yang Rutin: Jika seseorang memiliki kebiasaan puasa sunnah
tertentu, seperti puasa Senin-Kamis atau puasa Ayyamul Bidh (puasa pada tanggal
13, 14, dan 15 setiap bulan Hijriyah), maka ia diperbolehkan berpuasa meskipun
jatuh satu atau dua hari sebelum Ramadan. Hal ini karena niat puasanya adalah
puasa sunnah rutin, bukan untuk mendahului Ramadan.
3. Makna
Larangan sebagai Bentuk Penghormatan: Larangan mendahului Ramadan ini juga dimaksudkan
untuk memberikan penghormatan terhadap bulan Ramadan itu sendiri. Dengan
menjaga perbedaan antara hari-hari biasa dan hari-hari di bulan Ramadan, umat
Islam lebih dapat merasakan keistimewaan bulan suci ini.
Hadits ini
menekankan pentingnya memulai ibadah dengan niat yang tepat dan dengan
mengikuti aturan yang sudah diajarkan, sehingga tidak terjadi kekeliruan atau
kebingungan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan.
وَعَنْ
عَمَّارِ بنِ يَا سِرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: (مَنْ صَامَ اليَوْمَ الذِى
يُشَكُ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ ذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعليقًا،
وَوَصَلَهُ الخَمْسَةُ ، وَمَحَحَهُ ابْنُ خُزَيْمَة . وَابْنُ
حِبَّانَ
Hadits ini
diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata:
"Barang
siapa yang berpuasa pada hari yang diragukan (masuknya bulan Ramadan), maka ia
telah bermaksiat kepada Abu al-Qasim (yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam)."
Hadits ini
diriwayatkan secara ta'liq oleh Imam al-Bukhari (disebutkan tanpa sanad
yang lengkap), dan diriwayatkan secara maushul (dengan sanad lengkap)
oleh imam yang lain, yaitu oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah.
Hadits ini dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Penjelasan
Hadits:
1. Larangan
Berpuasa pada Hari yang Diragukan (Yawmus Syakk): Hari yang dimaksud adalah
hari terakhir bulan Sya'ban, ketika muncul keraguan apakah sudah masuk bulan
Ramadan atau belum. Ini terjadi jika hilal (bulan sabit pertama) tidak terlihat
secara jelas karena tertutup awan atau sebab lainnya. Hadits ini melarang
berpuasa pada hari tersebut jika tujuannya adalah untuk berjaga-jaga masuknya
Ramadan.
2. Makna
“Bermaksiat kepada Abu al-Qasim”: Kalimat ini menunjukkan bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menekankan agar umatnya tidak berpuasa
pada hari yang meragukan tersebut. Ini sebagai bentuk ketundukan pada aturan
yang ditetapkan Rasulullah dalam ibadah, terutama ibadah puasa Ramadan, yang
waktunya harus dimulai dengan kepastian.
3. Hikmah
di Balik Larangan Ini:
o Rasulullah
mengajarkan agar umat Islam hanya berpuasa Ramadan ketika benar-benar yakin
masuknya bulan Ramadan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar tidak terjadi
kelebihan atau kekurangan dalam jumlah hari puasa Ramadan.
o Larangan
ini juga bertujuan untuk menghindari sikap waswas (keraguan) dan tidak
menyulitkan diri dalam beribadah. Islam sangat menjaga kemurnian dan
kesempurnaan niat dalam menjalankan ibadah, termasuk ibadah puasa Ramadan.
Dengan
mengikuti petunjuk Rasulullah ini, umat Islam dapat beribadah sesuai dengan
ketentuan yang benar, yakni mengawali puasa Ramadan berdasarkan penetapan yang
pasti dari hilal atau keputusan dari ulil amri (pemerintah atau pihak berwenang
yang mengumumkan).
وَعَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِذَا رَايَتُمُوهُ فَصُومُوا وَإذَارَ ايْتُمُوهُ
فَا فَطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُ والهُ) متفق عَلَيْهِ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, di mana ia berkata bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Apabila
kalian melihat hilal (bulan sabit penanda bulan baru), maka berpuasalah, dan
apabila kalian melihatnya (lagi) maka berbukalah (akhirilah puasa). Jika
tertutup oleh awan (sehingga kalian tidak dapat melihatnya), maka
sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari." (Muttafaqun ‘alaih –
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim)
Penjelasan
Hadits:
1. Ketentuan
Melihat Hilal untuk Memulai dan Mengakhiri Puasa:
o Hadits
ini menjelaskan bahwa awal bulan Ramadan ditentukan dengan melihat hilal (bulan
sabit pertama) pada akhir bulan Sya’ban, dan akhir Ramadan ditentukan dengan
melihat hilal Syawal.
o Apabila
hilal terlihat, maka puasa dimulai (Ramadan) atau diakhiri (masuk bulan Syawal
atau Idul Fitri) sesuai ketentuannya.
2. Menggenapkan
Bulan Menjadi 30 Hari Jika Hilal Tidak Terlihat:
o Jika
hilal tidak bisa dilihat karena cuaca buruk, misalnya tertutup awan, maka bulan
Sya'ban digenapkan menjadi 30 hari untuk memulai Ramadan, begitu juga bulan
Ramadan digenapkan menjadi 30 hari untuk menyambut Idul Fitri jika hilal Syawal
tidak terlihat.
o Hal
ini memberikan kepastian dan menghindarkan umat Islam dari keraguan dalam
menentukan awal dan akhir bulan Ramadan.
3. Makna
“Menggenapkan” sebagai Bentuk Kepastian dalam Ibadah:
o Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan metode yang sederhana namun pasti
untuk menentukan awal dan akhir bulan puasa, sehingga tidak ada kebingungan
atau perselisihan di antara umat.
o Hadits
ini mengajarkan bahwa dalam menjalankan ibadah, kita tidak perlu memaksakan
diri jika kondisi tidak memungkinkan (misalnya hilal tertutup awan), tetapi
cukup mengikuti aturan yang telah diajarkan untuk menggenapkan hari menjadi 30.
Kesimpulan: Hadits ini menekankan
pentingnya kepastian dalam beribadah dengan menggunakan metode yang diajarkan
Rasulullah, yaitu rukyat hilal (melihat bulan sabit) atau menyempurnakan
bilangan bulan menjadi 30 hari jika rukyat tidak memungkinkan. Ini mengajarkan
umat Islam untuk mengedepankan kejelasan dan tidak beribadah dengan keraguan,
sehingga dapat menjalankan puasa dengan ketenangan hati.
وَلِمسلم
: ( فَإِنْ أَغْيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُ والهُ ثَلَاثِينَ) وَلِلْبُخَارِيّ : (
فَا كَمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ )
Hadits ini
adalah kelanjutan dari penjelasan sebelumnya mengenai cara menentukan awal dan
akhir bulan Ramadan ketika hilal (bulan sabit) tidak terlihat karena tertutup
awan atau sebab lain. Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari dalam
redaksi yang sedikit berbeda:
1. Riwayat
Muslim:
o "Jika
hilal tidak terlihat oleh kalian, maka genapkanlah hitungan menjadi tiga puluh
hari."
2. Riwayat
al-Bukhari:
o "Maka
sempurnakanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari."
Penjelasan
Hadits:
1. Kesamaan
dalam Makna:
Kedua riwayat ini, meskipun dengan sedikit perbedaan redaksi, memiliki makna
yang sama. Mereka mengajarkan agar bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari
jika hilal bulan Ramadan tidak terlihat, dan bulan Ramadan digenapkan menjadi
30 hari jika hilal bulan Syawal tidak terlihat.
2. Kepastian
dan Konsistensi dalam Ibadah Puasa:
o Dengan
ketentuan ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memastikan agar umat
Islam tidak ragu dalam menjalankan ibadah puasa. Penggenapan menjadi 30 hari
memberi kepastian kapan dimulai dan diakhirinya puasa Ramadan.
o Langkah
ini juga menunjukkan sikap Islam yang mengutamakan kemudahan dan kejelasan
dalam beribadah, sehingga ibadah bisa dilakukan dengan tenang dan penuh
keyakinan.
3. Makna
"Menggenapkan" sebagai Alternatif Bila Tidak Melihat Hilal:
o Saat
hilal tidak bisa dilihat, maka keputusan untuk menggenapkan bulan adalah
langkah praktis yang sesuai dengan syariat. Ini menghindari sikap terburu-buru
atau bahkan kekhawatiran tentang ketidakpastian dalam ibadah.
Kesimpulan: Hadits ini menekankan
metode yang mudah dan jelas dalam menentukan awal dan akhir Ramadan, yakni
dengan menggenapkan bulan menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat. Ini
memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam menentukan kapan harus memulai dan
mengakhiri puasa dengan cara yang telah ditentukan oleh Rasulullah, sehingga
ibadah bisa dilakukan dengan rasa tenang dan penuh keyakinan.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: (تَرَاءَى النَّاسُ الهلال
فَأَخْبَرْتُ النّبي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أني رأيتُه ، فَصَامَ وَاَمَرَ
النَّاسَ بِصِيَامِهِ رَوَاهُ اَبودَاوُدَ ، وَمَحَحَهُ الحاكم وَابْنُ حِبَّانَ
Hadits ini
diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
"Orang-orang
mencari hilal (bulan sabit) lalu aku memberitahu Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa aku telah melihatnya, maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan
orang-orang untuk berpuasa." (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan dinilai sahih
oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban)
Penjelasan
Hadits:
1. Persaksian
Melihat Hilal:
o Dalam
hadits ini, Ibnu Umar melihat hilal (bulan sabit pertama sebagai tanda masuknya
bulan Ramadan) dan memberitahukan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Rasulullah menerima persaksian Ibnu Umar dan memutuskan untuk memulai
puasa serta memerintahkan kaum Muslimin untuk ikut berpuasa.
o Hal
ini menunjukkan bahwa dalam menentukan awal bulan Ramadan, persaksian satu
orang yang dapat dipercaya sudah cukup jika tidak ada keraguan atas
kejujurannya.
2. Keputusan
Rasulullah Berdasarkan Kesaksian yang Jelas:
o Rasulullah
tidak ragu untuk menerima kesaksian dari Ibnu Umar. Hal ini mengajarkan bahwa
seorang pemimpin atau pihak yang berwenang dalam agama bisa memutuskan awal
puasa Ramadan berdasarkan persaksian satu orang yang adil dan dipercaya.
o Hadits
ini juga menunjukkan bahwa persaksian hilal oleh seorang yang dipercaya dapat
dijadikan dasar hukum untuk memulai puasa Ramadan, tanpa memerlukan jumlah
saksi yang banyak.
3. Prinsip
Kemudahan dan Kepercayaan dalam Islam:
o Islam
mengajarkan prinsip kemudahan dalam beribadah, termasuk dalam menetapkan awal
bulan Ramadan. Dengan menerima persaksian satu orang, umat Islam dihindarkan
dari kesulitan atau keraguan dalam menentukan kapan dimulainya puasa.
o Prinsip
ini juga menekankan kepercayaan dan keadilan, di mana kesaksian seorang yang
terpercaya diakui dan dijadikan acuan bagi masyarakat luas.
Kesimpulan: Hadits ini menunjukkan
bahwa awal Ramadan dapat ditetapkan berdasarkan persaksian satu orang yang
terpercaya jika hilal terlihat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
langsung memulai puasa dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa berdasarkan
persaksian tersebut, sehingga puasa dimulai dengan keyakinan dan kejelasan.
! وَعَنِ
ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ أَعْرَابِيَّا جَاءَ إلَى النَّبِيِّ
صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنِّي رَايَتُ الهِلَالَ، فَقَالَ:
اَتَشْهَدُ اَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ : اَتَشْهَدُ
اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ؟ قَالَ نَعَمْ ، قَالَ : فَاذِنْ فِي النَّاسِ
يَا بِلالُ اَنْ يَصُومُوا غَدًا ، رَوَاهُ الخَمْسَهُ وَمَتَحَهُ ابْنُ
خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ، وَرَبَّحَ النَّسَائِي رُسَالَهُ
Hadits ini
diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia menceritakan:
"Seorang
Arab Badui datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,
'Sesungguhnya aku telah melihat hilal.' Maka beliau (Rasulullah) bertanya,
'Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?' Dia menjawab, 'Iya.'
Kemudian beliau bertanya lagi, 'Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasul Allah?' Dia menjawab, 'Iya.' Maka Rasulullah berkata, 'Wahai Bilal,
umumkanlah kepada orang-orang bahwa besok mereka berpuasa.'" (Diriwayatkan oleh
al-Khamsah, dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Nasa’i
dalam riwayatnya)
Penjelasan
Hadits:
1. Penerimaan
Kesaksian Seorang yang Dikenal Keimanannya:
o Ketika
seorang Arab Badui datang kepada Nabi dan menyampaikan bahwa ia telah melihat
hilal (bulan sabit pertama), Nabi memastikan keislamannya dengan bertanya
tentang syahadat. Setelah Arab Badui tersebut mengucapkan syahadat, Rasulullah
menerima kesaksiannya.
o Ini
menunjukkan bahwa syarat untuk kesaksian hilal adalah keislaman dan kejujuran
seseorang, bukan status sosial atau penampilan. Selama ia dikenal sebagai
Muslim yang jujur, kesaksiannya dapat diterima.
2. Peran
Syahadat dalam Validitas Kesaksian:
o Rasulullah
menanyakan syahadat kepada Arab Badui tersebut sebagai bentuk konfirmasi bahwa
ia benar-benar Muslim. Hal ini menegaskan pentingnya iman dan kejujuran dalam
kesaksian terkait ibadah, seperti awal puasa Ramadan.
o Dengan
ini, Islam menunjukkan bahwa persaksian dalam masalah ibadah bukan hanya
didasarkan pada apa yang dilihat, tetapi juga pada ketulusan iman orang yang
bersaksi.
3. Keputusan
Rasulullah Berdasarkan Kesaksian Satu Orang Muslim:
o Rasulullah
tidak meminta lebih dari satu saksi dalam hadits ini. Setelah mengetahui bahwa
orang tersebut adalah Muslim yang sahih syahadatnya, beliau langsung
memerintahkan Bilal untuk mengumumkan kepada kaum Muslimin agar berpuasa
keesokan harinya.
o Hal
ini menunjukkan bahwa kesaksian satu orang yang dipercaya bisa cukup untuk
menetapkan awal Ramadan, sesuai ketentuan Rasulullah.
4. Pentingnya
Menyampaikan Informasi kepada Umat:
o Rasulullah
meminta Bilal untuk menyampaikan pengumuman kepada umat bahwa puasa dimulai
keesokan harinya. Ini menunjukkan bahwa pengumuman resmi memiliki peran penting
dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan ibadah bersama seperti puasa.
o Hal
ini juga menjadi bukti bahwa pemimpin atau otoritas agama harus berperan aktif
dalam menyampaikan ketentuan ibadah kepada masyarakat.
Kesimpulan: Hadits ini mengajarkan
bahwa dalam penentuan awal Ramadan, persaksian satu Muslim yang jujur sudah
cukup jika ia dikenal memiliki iman yang kuat. Rasulullah memerintahkan Bilal
untuk mengumumkan kepada umat Islam agar berpuasa berdasarkan kesaksian tersebut.
Hadits ini menekankan pentingnya ketulusan dalam kesaksian dan peran pengumuman
resmi dalam memberitahukan umat mengenai ketentuan ibadah.
وَعَنْ
حَفْصَةَ أَمِ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ إلى ترجيح
وَقفِهِ، وَمَحَحَهُ مَرْفُوعًا ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ القِيَامَ قِبَلَ الْفَجْرِ
فَلَا صِيَامَ لَهُ) رَوَاهُ الخمسَةُ ، وَمَالَ التَّرْمنِيُّ وَالنَّائى
Hadits ini
diriwayatkan dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barang
siapa yang tidak berniat untuk puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa
baginya."
(Diriwayatkan oleh Al-Khamsah, dan dinilai sahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban)
Penjelasan
Hadits:
1. Keutamaan
Niat dalam Puasa:
o Hadits
ini menekankan pentingnya niat dalam ibadah puasa. Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam menyatakan bahwa puasa seseorang tidak sah jika ia tidak berniat sebelum
fajar. Niat merupakan syarat sah dalam ibadah puasa, dan harus ditetapkan dalam
hati sebelum waktu subuh.
2. Waktu
Niat:
o Menurut
hadits ini, niat untuk berpuasa harus dilakukan sebelum waktu fajar (sebelum
waktu subuh tiba). Hal ini berarti, seseorang yang ingin berpuasa harus
memiliki ketetapan niat dalam hatinya di malam hari sebelum subuh.
o Niat
tidak perlu diucapkan, melainkan cukup ditetapkan dalam hati bahwa ia akan
melaksanakan puasa pada hari tersebut.
3. Jenis
Puasa yang Memerlukan Niat Sebelum Fajar:
o Ulama
menjelaskan bahwa hadits ini berlaku khusus untuk puasa wajib, seperti puasa
Ramadan, puasa nazar, atau puasa qadha. Untuk puasa sunnah, terdapat
kelonggaran dalam menetapkan niat, sehingga seseorang masih diperbolehkan
berniat berpuasa setelah fajar selama ia belum makan atau melakukan hal yang
membatalkan puasa.
4. Makna
"Tidak Ada Puasa Baginya":
o Kalimat
"tidak ada puasa baginya" berarti bahwa puasanya tidak sah jika niat
tidak dilakukan sebelum fajar. Ini mengisyaratkan bahwa niat adalah salah satu
rukun (syarat utama) puasa yang harus dipenuhi agar ibadah tersebut diterima.
Kesimpulan: Hadits ini menegaskan
bahwa niat sebelum fajar adalah syarat sahnya puasa wajib. Niat tidak perlu
diucapkan, tetapi cukup dihadirkan dalam hati sebelum waktu subuh tiba. Hadits
ini juga mengajarkan pentingnya persiapan spiritual dan mental sebelum menjalankan
ibadah puasa agar pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat.
النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَئ؟
قُلْنَا لَا ، قَالَ : فَإِنِّي صَائِهُ، ثُمَّ آتَانَا يَوْمًا أَخَرَ فَقُلْنَا
اُهْدِيَ لَنَا حَيْسُ ، فَقَالَ : اَرِينِيْهِ فَلَقَدْ اَصْبَحْتُ قَائِما،
فَاكَلَ رَوَاهُ مُسْلم وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : دَخَلَ
عَلَى
Hadits ini
mengisahkan peristiwa ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam suatu
hari bertanya kepada keluarganya, "Apakah ada makanan di rumah?"
Mereka menjawab, "Tidak ada." Maka beliau berkata, "Kalau
begitu, aku akan berpuasa." Kemudian, pada hari lain, mereka menyampaikan
kepadanya bahwa mereka telah mendapatkan hadiah berupa "hais"
(makanan yang terbuat dari kurma, lemak, dan tepung). Nabi pun berkata,
"Tunjukkan padaku makanan itu, karena aku memang sedang berpuasa sejak
pagi." Lalu beliau makan dari makanan tersebut. (Diriwayatkan oleh Muslim)
Penjelasan
Hadits:
1. Puasa
Sunnah yang Fleksibel:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kadang memulai puasa
sunnah di siang hari apabila beliau belum makan sejak pagi dan tidak ada
makanan di rumah. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam puasa sunnah, di mana
niat puasa bisa dilakukan meskipun hari sudah berjalan, selama belum ada hal
yang membatalkan puasa.
o Hal
ini berbeda dengan puasa wajib (seperti puasa Ramadan), di mana niat harus
dilakukan sebelum fajar, sesuai dengan hadits yang disebutkan sebelumnya.
2. Membatalkan
Puasa Sunnah dengan Makan:
o Dalam
peristiwa ini, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membatalkan puasa sunnahnya
ketika beliau mendapat makanan hais sebagai hadiah. Ini menunjukkan bahwa puasa
sunnah boleh dibatalkan jika ada alasan yang baik, seperti adanya makanan yang
dihidangkan, tanpa perlu menggantinya.
o Hal
ini mengajarkan kemudahan dalam beribadah puasa sunnah, di mana seseorang tidak
berdosa jika ia memilih untuk berbuka di tengah hari.
3. Kebiasaan
Sederhana dan Tawakkal Nabi:
o Hadits
ini juga menggambarkan kesederhanaan kehidupan Nabi dan keluarganya, di mana
mereka tidak selalu memiliki makanan yang tersedia. Ketika tidak ada makanan,
beliau tidak merasa berat hati, tetapi malah menjadikannya sebagai kesempatan
untuk berpuasa.
o Ini
menunjukkan sikap tawakkal dan kerelaan beliau dalam menerima kondisi hidup
yang sederhana.
4. Contoh
Puasa Sunnah yang Tidak Mengikat:
o Hadits
ini juga mengajarkan bahwa puasa sunnah adalah bentuk ibadah yang tidak
mengikat secara ketat, sehingga seorang Muslim diberikan kemudahan untuk
melaksanakannya sesuai dengan keadaan, dan tidak perlu merasa berdosa jika
berbuka di tengah hari.
Kesimpulan: Hadits ini mengajarkan
tentang fleksibilitas dalam menjalankan puasa sunnah, di mana niat bisa
dilakukan di siang hari selama belum ada pembatal. Puasa sunnah juga bisa
dibatalkan dengan makan jika ada alasan yang baik. Selain itu, hadits ini
menunjukkan kesederhanaan Nabi dalam menghadapi keadaan rumah tangganya dan
sikap beliau yang selalu siap beribadah di segala kondisi.
وَعَنْ
سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرِ مَا عَجَلُوا الفِطرَ
متَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits ini
diriwayatkan dari Sahal bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Manusia
akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka
puasa."
(Muttafaq 'alaih – disepakati oleh Bukhari dan Muslim)
Penjelasan
Hadits:
1. Menyegerakan
Berbuka adalah Sunnah:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa menyegerakan berbuka puasa setelah matahari terbenam
adalah sunnah yang dianjurkan dalam Islam. Menyegerakan berbuka puasa berarti
tidak menunda-nunda, melainkan langsung berbuka begitu diyakini waktu maghrib
telah masuk.
2. Tanda
Kebaikan Umat Islam:
o Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa selama umat Islam tetap menjaga
kebiasaan menyegerakan berbuka, mereka akan berada dalam kebaikan. Hal ini
menandakan bahwa menyegerakan berbuka adalah salah satu ciri ketakwaan dan
kepatuhan terhadap sunnah Rasulullah.
o Ini
juga menunjukkan semangat dalam mengikuti ajaran Nabi dan ketaatan dalam
melaksanakan ibadah sesuai petunjuk beliau.
3. Keseimbangan
dalam Ibadah:
o Menyegerakan
berbuka menunjukkan bahwa Islam tidak menghendaki umatnya berlebihan dalam
beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntunan. Puasa diakhiri segera
setelah waktunya, sebagai tanda bahwa Allah tidak ingin memberatkan
hamba-hamba-Nya. Ini menjadi bentuk keseimbangan dalam beribadah, di mana
ibadah puasa hanya berlangsung pada waktu yang ditentukan.
4. Berkah
dalam Menyegerakan Berbuka:
o Hadits
ini mengandung makna bahwa menyegerakan berbuka merupakan sebab turunnya
keberkahan. Menyegerakan berbuka merupakan bentuk syukur atas nikmat yang
diberikan Allah dan merupakan cara untuk menjaga kesehatan tubuh dengan makan
pada waktu yang tepat.
Kesimpulan: Hadits ini mengajarkan
tentang pentingnya menyegerakan berbuka puasa sebagai sunnah yang mendatangkan
kebaikan. Menyegerakan berbuka adalah tanda kebaikan umat Islam, mencerminkan
semangat mengikuti sunnah, dan menunjukkan keseimbangan dalam menjalankan
ibadah. Selain itu, hal ini mengandung keberkahan karena sesuai dengan tuntunan
Nabi dan bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
4o
You said:
Tolong
jelaskan hadits ini! ۱۲وَلِلتّرْمِذِي مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن
النبي صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَ :
أَحَبُّعِبَادِي إِلَى اعْجَلُهُمْ فِطْرًا
ChatGPT
said:
ChatGPT
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, di mana Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan bahwa Allah سبحانه
وتعالى
berfirman:
"Seorang
hamba yang paling Aku cintai adalah yang paling cepat berbuka puasa." (Diriwayatkan oleh
Tirmidzi)
Penjelasan
Hadits:
1. Keutamaan
Menyegerakan Berbuka:
o Hadits
ini menegaskan keutamaan menyegerakan berbuka puasa setelah matahari terbenam.
Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang cepat berbuka, menandakan bahwa
menyegerakan berbuka adalah tindakan yang baik dan disukai oleh Allah.
2. Keselarasan
dengan Sunnah Nabi:
o Menyegerakan
berbuka puasa adalah sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Beliau selalu berbuka puasa dengan cepat setelah memastikan bahwa waktu
maghrib telah tiba. Mengikuti sunnah ini menunjukkan ketaatan dan kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya.
3. Menghindari
Kesulitan dan Membawa Kebaikan:
o Dengan
menyegerakan berbuka, seorang Muslim menunjukkan sikap bersyukur atas nikmat
yang diberikan Allah setelah berpuasa seharian. Hal ini juga menghindarkan dari
sikap berlebihan atau menyusahkan diri sendiri, karena Islam mengajarkan
kemudahan dalam beribadah.
4. Cinta
Allah kepada Hamba-Nya:
o Dalam
hadits ini, Allah menyebutkan bahwa Dia mencintai hamba-Nya yang menyegerakan
berbuka. Ini menunjukkan betapa Allah sangat memperhatikan dan menghargai
tindakan-tindakan ketaatan yang dilakukan oleh hamba-Nya.
5. Motivasi
untuk Melaksanakan Ibadah:
o Pernyataan
bahwa Allah mencintai mereka yang menyegerakan berbuka dapat menjadi motivasi
bagi umat Islam untuk selalu mengikuti sunnah ini. Mengetahui bahwa tindakan
ini disukai Allah akan mendorong seseorang untuk lebih disiplin dalam
beribadah.
Kesimpulan:
Hadits ini
mengajarkan tentang pentingnya menyegerakan berbuka puasa dan menegaskan bahwa
tindakan tersebut adalah salah satu bentuk ketaatan yang dicintai oleh Allah.
Dengan menyegerakan berbuka, seorang Muslim menunjukkan rasa syukur atas nikmat
puasa dan mengikuti sunnah Nabi, yang keduanya membawa keberkahan dan kebaikan
dalam hidup.
وَعَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (تَسَخَرُوا فَإِنَّ فِي السَحُورِ بَرَكَةً مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, di mana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Makan
sahurlah, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat berkah." (Muttafaq 'alaih –
disepakati oleh Bukhari dan Muslim)
Penjelasan
Hadits:
1. Pentingnya
Sahur:
o Hadits
ini menekankan pentingnya makan sahur bagi orang yang berpuasa. Makan sahur
adalah makan sebelum imsak (sebelum waktu subuh) yang dilakukan oleh orang yang
akan menjalankan ibadah puasa.
2. Berkah
dalam Sahur:
o Rasulullah
menegaskan bahwa sahur memiliki keberkahan. Keberkahan ini bisa diartikan dalam
berbagai bentuk, seperti:
§ Kekuatan
Fisik:
Makan sahur memberikan energi yang diperlukan selama berpuasa.
§ Spiritualitas: Melaksanakan sahur dapat
memperkuat niat dan tekad seseorang untuk berpuasa dengan baik.
§ Kesempatan
Berdoa:
Waktu sahur adalah waktu yang baik untuk berdoa, karena Allah SWT menyaksikan
hamba-Nya yang berdoa di waktu-waktu tersebut.
3. Mengikuti
Sunnah Nabi:
o Dengan
melaksanakan sahur, seorang Muslim mengikuti sunnah Nabi Muhammad. Menjadi
bagian dari ajaran beliau menunjukkan ketaatan dan kecintaan terhadap sunahnya.
4. Tidak
Menganggap Remeh:
o Hadits
ini juga mengingatkan agar tidak meremehkan sahur, meskipun itu hanya sedikit
makanan atau minuman. Bahkan, jika seseorang hanya meminum seteguk air, itu
tetap bernilai dan memiliki berkah.
5. Waktu
Sahur:
o Sahur
sebaiknya dilakukan menjelang waktu subuh. Disarankan untuk tidak menunda sahur
hingga mendekati waktu imsak, sehingga ada waktu yang cukup untuk makan.
Kesimpulan:
Hadits ini
menunjukkan bahwa sahur merupakan amalan penting yang dianjurkan dalam
berpuasa, dan terdapat berkah dalam melakukannya. Dengan mengamalkan sunnah
ini, seorang Muslim tidak hanya mendapatkan manfaat fisik, tetapi juga
spiritual. Makan sahur memperkuat tekad untuk menjalankan puasa dan menjadi
kesempatan untuk memohon kepada Allah, serta menunjukkan sikap syukur atas
nikmat-Nya.
وَعَنْ
سَلْمَانَ بْنِ عَامِرِ الصَّبِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( إِذَا فَطَرَ اَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرُ عَلَى
تَمَرْ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُورُ ) رَوَاهُ
الخَمْسَةُ ، وَصَحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Salman bin Amir ad-Dhabbi radhiyallahu 'anhu, di mana
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Jika
salah seorang di antara kalian berbuka puasa, maka hendaklah ia berbuka dengan
kurma. Jika tidak ada, maka hendaklah ia berbuka dengan air, karena air itu
suci."
(Diriwayatkan oleh lima perawi, dan dinyatakan sah oleh Ibn Khuzaimah, Ibn
Hibban, dan al-Hakim)
Penjelasan
Hadits:
1. Sunnah
Berbuka dengan Kurma:
o Hadits
ini menekankan sunnah untuk berbuka puasa dengan kurma. Kurma memiliki banyak
manfaat nutrisi dan energi yang baik setelah seharian berpuasa. Mengawali
berbuka dengan kurma juga mengikuti tradisi Nabi Muhammad.
2. Alternatif
Jika Kurma Tidak Ada:
o Jika
seseorang tidak memiliki kurma, maka disarankan untuk berbuka dengan air. Air
dianggap suci dan membersihkan, baik secara fisik maupun spiritual. Ini
menunjukkan betapa pentingnya air dalam kehidupan sehari-hari dan dalam ibadah.
3. Makna
"Tahur":
o Ungkapan
"إنه طهور" (sesungguhnya air itu suci) menunjukkan bahwa air
memiliki sifat membersihkan. Dalam konteks berbuka puasa, ini berarti air dapat
memberikan kesegaran dan menghilangkan dahaga setelah berpuasa, serta memiliki
efek menyegarkan tubuh.
4. Pentingnya
Berbuka dengan Cara yang Baik:
o Hadits
ini mengajarkan bahwa ada adab dan cara yang dianjurkan dalam berbuka puasa.
Mengikuti sunnah dalam berbuka tidak hanya menunjukkan kepatuhan, tetapi juga
membawa keberkahan dalam puasa kita.
5. Berkah
dalam Berbuka:
o Berbuka
puasa adalah saat yang penuh berkah, di mana kita mengucapkan doa dan bersyukur
kepada Allah atas nikmat yang diberikan. Mengawali dengan makanan atau minuman
yang baik seperti kurma dan air juga menambah nilai spiritual dalam ibadah
puasa.
Kesimpulan:
Hadits ini
menegaskan pentingnya berbuka puasa dengan cara yang sesuai sunnah, yaitu
dengan kurma, dan jika tidak ada, menggunakan air. Keduanya memiliki manfaat
kesehatan dan spiritual. Mengamalkan hadits ini membantu kita untuk mendapatkan
keberkahan dalam ibadah puasa serta menunjukkan rasa syukur atas nikmat Allah.
4o mini
You said:
Tolong
jelaskan hadits ini! وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ: (نَهَى رَسُولُاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ
الوِصَالِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ المُسلِمِينَ : فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ
اللهِ ؟ فَقَالَ : وَأَيُّكُمْ مِثْلِي اِنّي اَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي
وَتَسْقِينِي ، فَلَمَّا اَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا عَنِ الوِ صَالِ وَاصَلَ بِهِمْ
يَوْمًا ثُمَّ رَا وَ الْهِلَالَ ، فَقَالَ: لَوْ تَأَخَّرَ الهلالُ نَزِدْتُكُم
كَالْمُنَكِّلِ لَهُمْ حِينَ ابُوا أَنْ يَنْتَهُوا مَتَّفَقُ عليه
ChatGPT
said:
ChatGPT
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, di mana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Rasulullah
melarang berpuasa secara terus-menerus (wisal). Maka seorang laki-laki dari
kalangan kaum Muslim bertanya, 'Ya Rasulullah, Engkau sendiri berpuasa secara
terus-menerus?' Rasulullah menjawab, 'Siapa di antara kalian yang seperti saya?
Sesungguhnya saya bermalam dalam keadaan Allah memberi makanan dan minuman
kepada saya.' Ketika mereka (para sahabat) tetap ingin berwisal, Rasulullah pun
melanjutkan puasa satu hari, kemudian terlihatlah hilal. Rasulullah berkata,
'Seandainya hilal terlambat muncul, saya akan teruskan puasa hingga kalian
semua."
(Diriwayatkan dalam kitab sahih)
Penjelasan
Hadits:
1. Larangan
Berwisal:
o Rasulullah
melarang praktik puasa terus-menerus tanpa berbuka, yang dikenal dengan istilah
"wisal". Larangan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan dan agar
tidak terlalu memberatkan tubuh. Puasa yang terputus dengan berbuka adalah
lebih baik dalam menjaga stamina dan kesehatan.
2. Contoh
dari Rasulullah:
o Ketika
seorang sahabat bertanya mengapa Rasulullah berwisal, beliau menjelaskan bahwa
beliau memiliki keistimewaan. Beliau mendapatkan makanan dan minuman dari
Allah, yang berarti beliau mendapatkan keistimewaan dan kekuatan dari-Nya untuk
menjalani puasa tanpa berbuka.
3. Respons
terhadap Sahabat:
o Ketika
sahabat tetap bersikukuh ingin berwisal, Rasulullah melanjutkan puasa satu hari
untuk menunjukkan bahwa beliau tidak hanya mengikuti keinginan mereka, tetapi
juga ingin memberi mereka pemahaman yang benar tentang praktik yang tepat dalam
berpuasa.
4. Perhatian
terhadap Kesehatan:
o Hadits
ini mengajarkan bahwa meskipun ada individu yang mungkin memiliki kemampuan
lebih dalam berpuasa, namun tetap ada batasan yang dianjurkan. Kesehatan harus
diutamakan dalam ibadah puasa.
5. Pengaruh
Terhadap Umat:
o Dengan
menyebutkan bahwa seandainya hilal terlambat muncul, beliau akan teruskan
puasa, Rasulullah menunjukkan sikap humoris namun juga menekankan bahwa beliau
ingin memberikan teladan yang baik kepada umat, agar tidak berlebihan dalam
berpuasa.
Kesimpulan:
Hadits ini
menekankan pentingnya mengikuti sunnah dalam ibadah puasa, dengan tidak
berwisal dan menjaga kesehatan tubuh. Rasulullah memberikan contoh bagaimana
berpuasa dengan cara yang benar, sambil tetap menjaga semangat beribadah.
Larangan ini menunjukkan perhatian beliau terhadap kesehatan umatnya, dan
mendorong agar setiap orang mengambil pendekatan yang bijaksana dalam
beribadah.
١٦وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : ( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ النُّورِ وَ الْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ
فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ) رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
وَاَبُو دَاوُدَ ، وَاللَّفْظُ لَهُ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, di mana Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang buruk, maka Allah
tidak memerlukan dia untuk meninggalkan makan dan minumnya." (Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Abu Dawud, dengan lafaz dari Abu Dawud).
Penjelasan
Hadits:
1. Makna
Dasar:
o Hadits
ini menekankan bahwa puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan
minum, tetapi juga harus disertai dengan menjaga lisan dan perilaku.
Menghindari ucapan dusta dan perbuatan yang buruk adalah bagian integral dari
puasa yang sah.
2. Nilai
Puasa:
o Puasa
dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan ketakwaan.
Jika seseorang berpuasa tetapi tetap terlibat dalam perilaku yang tidak baik,
seperti berdusta dan berbuat jahat, maka puasa tersebut kehilangan makna dan
nilai spiritualnya.
3. Kehendak
Allah:
o Pernyataan
"Allah tidak memerlukan dia untuk meninggalkan makan dan minumnya"
menunjukkan bahwa Allah tidak tertarik pada ibadah yang tidak disertai dengan
etika dan moral yang baik. Allah lebih menginginkan hamba-Nya untuk memiliki
akhlak yang baik daripada sekadar menjalankan ritual ibadah.
4. Keterkaitan
Ibadah dan Akhlak:
o Hadits
ini menegaskan bahwa akhlak dan perilaku seseorang sangat penting dalam agama
Islam. Ibadah seperti puasa harus diimbangi dengan tindakan dan kata-kata yang
baik agar mencapai tujuan puasa, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
5. Peringatan
bagi Umat:
o Hadits
ini berfungsi sebagai peringatan bagi umat Muslim untuk tidak hanya fokus pada
aspek fisik puasa, tetapi juga untuk memperbaiki lisan dan perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini mendorong umat untuk lebih sadar akan tanggung
jawab moral mereka, terutama selama bulan puasa.
Kesimpulan:
Hadits ini
mengajarkan bahwa puasa tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga
mencakup aspek moral dan etika. Menghindari ucapan dusta dan perbuatan buruk
adalah bagian penting dari ibadah puasa yang sebenarnya. Ini merupakan
pengingat bagi umat Muslim untuk menjaga akhlak dan perilaku baik dalam setiap
aspek kehidupan, terutama selama bulan Ramadan.
١٧وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم يُقَتِلُ
وَهُوَ صَائِمُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائم وَلَكِنَّهُ كَانَ اَملَككُم لِارْبِهِ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَاللَّفْظُ ) المسلم، وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ : ( فِي
رَمَضَانَ )
Hadits ini
diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha, di mana ia menyatakan bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan beberapa aktivitas saat
berpuasa, termasuk:
"Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan jima' (hubungan suami istri) dan
mengusap kepala (dalam konteks bersentuhan) saat berpuasa. Namun, beliau adalah
orang yang paling mampu mengendalikan hasratnya." (Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim, dengan tambahan dari Muslim: "di bulan
Ramadan").
Penjelasan
Hadits:
1. Pengertian
dan Konteks:
o Hadits
ini menjelaskan tentang perilaku Nabi Muhammad ketika beliau berpuasa,
menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang diperbolehkan dalam keadaan puasa,
seperti bersentuhan fisik dengan istri (dalam batasan yang sesuai) dan
berinteraksi secara fisik, selama hal tersebut tidak melanggar hukum puasa.
2. Jima'
(Hubungan Suami Istri):
o Hadits
ini menunjukkan bahwa jima' tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa,
kecuali di luar waktu puasa, namun ada pemahaman dari beberapa ulama bahwa
boleh untuk bersentuhan dan bercanda dengan istri selama niat untuk tidak
melakukan jima' tetap ada.
3. Kontrol
Diri:
o Aisyah
menekankan bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang paling mampu mengendalikan
hasratnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada keinginan untuk berhubungan, Nabi
tetap dapat menahan diri dan tidak melanggar aturan puasa.
4. Prinsip
Dalam Puasa:
o Hadits
ini menegaskan pentingnya kontrol diri dan pengendalian hawa nafsu dalam
menjalankan ibadah puasa. Seorang Muslim seharusnya bisa menahan diri dari
berbagai hal yang membatalkan puasa, tetapi tetap bisa berinteraksi dengan cara
yang tidak melanggar syariat.
5. Ritual
dan Etika Puasa:
o Hadits
ini menjelaskan bahwa berpuasa tidak hanya tentang menahan diri dari makanan
dan minuman, tetapi juga mencakup etika dalam bersosialisasi dan berinteraksi,
baik dengan pasangan maupun dengan orang lain.
Kesimpulan:
Hadits ini
mengajarkan bahwa berpuasa adalah tentang kontrol diri dan pengendalian hawa
nafsu, serta memahami batasan-batasan dalam interaksi sosial, terutama antara
suami dan istri. Meski dalam keadaan berpuasa, umat Islam dianjurkan untuk
tetap menjaga perilaku baik, menjalin hubungan yang baik, dan tidak melanggar
syariat, termasuk dalam hal bersentuhan. Ini juga menjadi pengingat untuk
senantiasa mampu mengendalikan diri dalam setiap aspek kehidupan.
-۱۸ وَعَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : ( اَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُخْرِمُ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِم رَوَاهُ
الْبُخَارِةُ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibn Abbas radhiyallahu 'anhuma yang menyatakan bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berbekam (hijama) ketika beliau
dalam keadaan ihram (dalam rangka melakukan ibadah haji atau umrah) dan juga
ketika beliau berpuasa. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Penjelasan
Hadits:
1. Definisi
Hijamah:
o Hijamah
atau berbekam adalah praktik medis tradisional yang melibatkan pengeluaran
darah dengan cara membuat sayatan kecil pada kulit dan kemudian menghisapnya
dengan alat tertentu. Praktik ini dianggap memiliki manfaat kesehatan dan
sering dilakukan dalam konteks pengobatan.
2. Keadaan
Ihram:
o Ihram
adalah keadaan suci yang harus dijaga oleh seorang jemaah haji atau umrah.
Dalam keadaan ini, ada sejumlah larangan, termasuk menggunakan parfum, memotong
kuku, dan memotong rambut. Namun, hadits ini menunjukkan bahwa berbekam
diperbolehkan meskipun dalam keadaan ihram.
3. Berpuasa
dan Berbekam:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa berbekam juga diperbolehkan ketika seseorang sedang
berpuasa. Ini menjadi penting karena ada pendapat yang berbeda di kalangan
ulama mengenai apakah berbekam dapat membatalkan puasa atau tidak. Dengan
adanya hadits ini, sebagian ulama berpendapat bahwa berbekam tidak membatalkan
puasa.
4. Sumber
Hukum:
o Hadits
ini merupakan sumber hukum yang digunakan untuk menetapkan bahwa berbekam
adalah tindakan yang diperbolehkan dalam keadaan tertentu, baik saat berpuasa
maupun saat dalam ihram. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam ibadah Islam dan
bahwa beberapa praktik medis tidak diharamkan selama mereka tidak melanggar
ketentuan syariat.
5. Manfaat
Praktis:
o Praktik
berbekam dalam konteks kesehatan diakui dalam Islam, dan hadits ini memberikan
panduan bahwa umat Islam dapat mencari pengobatan yang efektif tanpa melanggar
ibadah yang sedang dijalankan.
Kesimpulan:
Hadits ini
menegaskan bahwa berbekam diperbolehkan dalam keadaan ihram dan saat berpuasa.
Ini menunjukkan pemahaman yang lebih luas mengenai interaksi antara ibadah dan
praktik kesehatan dalam Islam, serta memberikan contoh dari perilaku Nabi
Muhammad yang dapat diikuti oleh umat Islam. Umat Islam diajarkan untuk menjaga
kesehatan dan berusaha mendapatkan pengobatan yang diperlukan, tanpa
mengabaikan ibadah yang mereka jalankan.
١٩وَعَنْ شَدَّادِ بْنِ
أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيُّصلى الله عليه وسلم الَى عَلَى
رَجُلٍ بِالبَقيعُ وَهُوَ يَحْتَجِمُ جُومُا رَوَاهُ الخمسة فِي رَمَضَانَ فَقَالَ
: ( اَفطَرَ الْحَاجِمُ وَاْلمَحَجُومُها رَوَاهُ اِلَّا التَّرْمِذِى، وَصَحَهُ
أَحْمَدُ وَابْنُ خُزَيْمَةَ وَابْنُ حِبَّانَ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu yang menceritakan bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat seorang lelaki yang sedang
berbekam di Baqi' (sebuah tempat pemakaman di Madinah) pada bulan Ramadan.
Beliau menyatakan bahwa "Orang yang berbekam (hujjam) dan orang yang
dibekam (mahjūm) telah berbuka puasa." Hadits ini diriwayatkan oleh lima
imam hadis, kecuali Tirmidzi. Namun, Ahmad, Ibn Khuzaimah, dan Ibn Hibban
menyatakan bahwa hadits ini sahih.
Penjelasan
Hadits:
1. Berbekam
dalam Islam:
o Berbekam
(hijamah) adalah praktik medis yang dilakukan untuk mengeluarkan darah kotor
dari tubuh. Dalam konteks Islam, berbekam telah dianjurkan oleh Rasulullah
sebagai salah satu metode penyembuhan.
2. Keadaan
Berpuasa:
o Dalam
hadits ini, Rasulullah menunjukkan bahwa berbekam dapat mempengaruhi status
puasa seseorang. Beliau mengisyaratkan bahwa baik orang yang melakukan hijamah
(hujjam) maupun orang yang dibekam (mahjūm) dianggap telah berbuka puasa. Ini
berarti bahwa praktik berbekam di bulan Ramadan dapat membatalkan puasa.
3. Pandangan
Ulama:
o Hadits
ini menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk berpendapat bahwa berbekam
membatalkan puasa. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa jika berbekam
dilakukan dengan cara yang tidak berlebihan dan tidak menyebabkan kehilangan
banyak darah, maka puasa tetap sah. Perbedaan ini menunjukkan adanya perdebatan
di kalangan ulama mengenai hal ini.
4. Pentingnya
Niat:
o Dalam
konteks puasa, niat sangat penting. Jika seseorang berbekam dengan niat untuk
berbuka atau merasa sangat lemah setelah berbekam, maka itu bisa mempengaruhi
puasa. Namun, jika dilakukan dengan niat untuk menjaga kesehatan, maka itu
perlu diperhatikan dalam konteks syariat.
5. Kesimpulan:
o Hadits
ini memberikan petunjuk yang jelas mengenai efek berbekam terhadap puasa.
Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, hadits ini menekankan bahwa
umat Islam harus berhati-hati dalam melakukan tindakan medis seperti berbekam
selama bulan Ramadan, dan sebaiknya berkonsultasi dengan ahli syariat atau
ulama mengenai status puasa mereka setelah berbekam.
Manfaat
Praktis:
Umat Islam
sebaiknya memperhatikan adab dan aturan puasa, serta mempertimbangkan kesehatan
dan praktik medis yang diperlukan, terutama dalam bulan suci Ramadan. Jika
berbekam diperlukan, sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat, misalnya
sebelum fajar atau setelah berbuka puasa, untuk menjaga keabsahan ibadah puasa.
وَعَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : ( اَوَّلُ مَا كُر هَتِ
الحِجَامَهُ لِلصَّائِرِ اَن جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِب وَهُوَ صَالِمُ فَمَرَّ
بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : اَفْطَرَهْدَانِ، ثُم
رَخَّصَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ فِي الحِجَامَةِ
لِلصَّائِمِ، وَكَانَ اَنَس يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَاكُم رَوَاهُ الدَّارَ قُطْنِي
وَقَوَاهُ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu yang menjelaskan tentang
berbekam (hijamah) bagi orang yang sedang berpuasa. Dalam hadits ini, Anas
mengisahkan bahwa awalnya berbekam untuk orang yang berpuasa dianggap tidak
diperbolehkan. Hal ini dipicu oleh kejadian ketika Ja'far bin Abi Talib yang
sedang berpuasa melewati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
Rasulullah menyatakan bahwa "Dua orang ini telah berbuka." Namun
kemudian, Nabi Muhammad memberikan rukhsah (keringanan) untuk berbekam bagi
orang yang berpuasa.
Penjelasan
Hadits:
1. Konteks
dan Asal Mula:
o Hadits
ini menjelaskan perubahan pandangan mengenai hukum berbekam saat berpuasa.
Awalnya, berbekam dianggap membatalkan puasa, seperti yang diungkapkan oleh
Rasulullah saat melihat Ja'far bin Abi Talib.
2. Rukhsah
dari Rasulullah:
o Setelah
pernyataan awal tersebut, Nabi Muhammad memberikan izin untuk berbekam bagi
orang yang berpuasa. Ini menunjukkan bahwa walaupun ada kekhawatiran mengenai
pengaruh berbekam terhadap puasa, Nabi kemudian memberikan keringanan yang
mengindikasikan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa.
3. Praktik
Anas bin Malik:
o Anas
bin Malik menyatakan bahwa dia sendiri sering berbekam saat berpuasa. Hal ini
menandakan bahwa praktik berbekam selama puasa kemudian diterima dan
dipraktikkan oleh para sahabat Nabi.
4. Hukum
Berbekam saat Puasa:
o Hadits
ini menjadi dasar bagi sebagian ulama untuk berpendapat bahwa berbekam
diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa. Namun, ulama juga mengingatkan bahwa
jika berbekam menyebabkan hilangnya banyak darah atau melemahkan seseorang,
maka sebaiknya dihindari.
5. Imam
Daruqutni:
o Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, yang menunjukkan bahwa hadits ini diakui
oleh para ahli hadis dan memiliki posisi yang kuat dalam kajian fikih.
Kesimpulan:
Hadits ini
menunjukkan bahwa berbekam selama puasa adalah tindakan yang diperbolehkan
setelah sebelumnya ada kekhawatiran tentang dampaknya terhadap puasa. Dalam
praktiknya, berbekam bisa dilakukan oleh orang yang berpuasa, dengan catatan
tidak mengganggu keabsahan puasa. Penting untuk selalu mempertimbangkan
kesehatan dan kondisi fisik sebelum melakukan tindakan medis selama bulan
Ramadan. Umat Islam sebaiknya mengacu pada panduan ulama dan praktik sahabat
Nabi untuk mengambil keputusan yang tepat.
٢١وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا : ( اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلم اكتحل في
رَمَضَانَ وَهُوَ صَائِهُ) رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةٌ بِإِسْنَادِ ضَحِيفِ ، وَقَالَ
التَّرْمِذِيُّ : ( لَا يَضِحُ فِي هَذَا الْبَابِ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam menggunakan kohl (alat make-up untuk mempercantik
mata) pada bulan Ramadan saat beliau sedang berpuasa. Hadits ini diriwayatkan
oleh Ibn Majah dan dinyatakan bahwa sanad (rantai periwayatan) hadits ini
lemah.
Penjelasan
Hadits:
1. Makna
Hadits:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad menggunakan kohl saat berpuasa. Kohl adalah
sejenis kosmetik yang biasa digunakan untuk mempercantik mata. Dalam konteks
ini, penggunaan kohl oleh Nabi saat berpuasa menunjukkan bahwa ada aspek
kecantikan dan perawatan diri yang tidak bertentangan dengan praktik puasa.
2. Status
Sanad:
o Hadits
ini dinyatakan oleh Ibn Majah sebagai hadits dengan sanad yang lemah (da'if).
Artinya, ada kekurangan dalam rantai periwayatan yang membuat hadits ini tidak
dianggap kuat. Namun, adanya pernyataan ini tidak sepenuhnya menghilangkan
nilai hadits, tetapi menunjukkan bahwa tidak semua ulama sepakat mengenai
kekuatan dan penerimaan hadits ini.
3. Keterangan
Imam Tirmidzi:
o Imam
Tirmidzi menyatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat yang menjelaskan tentang
penggunaan kohl selama puasa. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada beberapa
riwayat mengenai penggunaan kohl, banyak dari mereka yang lemah dan tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah (dalil) yang kuat.
4. Praktik
dalam Islam:
o Meskipun
hadits ini lemah, praktik merawat diri dan menggunakan kosmetik tidak dilarang
dalam Islam selama puasa, asalkan tidak melibatkan hal-hal yang dapat
membatalkan puasa. Hadits ini bisa menjadi panduan bahwa merawat penampilan
tetap diperbolehkan, asalkan tidak melanggar aturan yang ada.
Kesimpulan:
Hadits ini
memberikan gambaran tentang kebiasaan Nabi Muhammad yang menggunakan kohl saat
berpuasa, namun status sanad yang lemah membuatnya tidak bisa dijadikan hujjah
yang kuat. Umat Islam diajarkan untuk menjaga penampilan dan kesehatan,
termasuk selama bulan Ramadan, tetapi harus tetap mematuhi syariat dan tidak
melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam hal ini, ulama
menganjurkan untuk selalu merujuk kepada hadits-hadits yang lebih kuat dan
praktik yang dianjurkan oleh Nabi.
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِم فَأَكَلَ اَوْ شَرِبَ فَلْيمْ
صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ مُتَّفَقُ عليه
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang menyampaikan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang lupa
(bahwa dia sedang berpuasa) lalu dia makan atau minum, maka hendaklah dia
meneruskan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan
minum." Hadits ini merupakan hadits yang disepakati oleh para ulama
(Muttafaqun 'alaih), artinya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Penjelasan
Hadits:
1. Makna
Hadits:
o Hadits
ini menegaskan bahwa jika seorang Muslim yang sedang berpuasa secara tidak
sengaja atau lupa makan atau minum, maka puasa mereka tetap sah. Mereka tidak
perlu mengganti puasa tersebut. Hal ini menunjukkan kemurahan dan kasih sayang
Allah kepada hamba-Nya.
2. Konteks
Kebolehan:
o Dalam
Islam, puasa tidak dianggap batal jika seseorang makan atau minum karena lupa.
Ini adalah bentuk keringanan dari Allah, yang menunjukkan bahwa Dia memahami
sifat manusia yang bisa lupa. Seorang mukmin seharusnya tidak merasa bersalah
atau tertekan jika hal ini terjadi.
3. Pentingnya
Niat:
o Hadits
ini juga menunjukkan pentingnya niat dalam berpuasa. Puasa yang sah adalah
puasa yang dilakukan dengan niat dan kesadaran. Jika seseorang makan atau minum
karena lupa, maka niat puasa mereka tetap berlaku, dan mereka tidak perlu
mengulangnya.
4. Panduan
dalam Praktik Puasa:
o Hadits
ini memberikan pedoman bagi umat Islam dalam menjalani ibadah puasa, terutama
saat berpuasa di bulan Ramadan. Ini juga menciptakan rasa tenang bagi mereka
yang khawatir akan batalnya puasa jika mereka tanpa sengaja makan atau minum.
Kesimpulan:
Hadits ini
menekankan bahwa jika seseorang lupa bahwa mereka sedang berpuasa dan makan
atau minum, maka puasa mereka tetap sah. Ini adalah pengingat tentang kemurahan
Allah dan bahwa Dia tidak membebani hamba-Nya dengan kesulitan yang tidak
perlu. Umat Islam seharusnya merasa nyaman dan yakin bahwa Allah mengampuni
kesalahan yang tidak disengaja, asalkan mereka tetap menjalankan ibadah dengan
niat yang baik.
۲۳وَلِلْحَاكِمِ
: (مَنْ اَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ نَاسِيَا فَلَا قِضَاءَ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Hakim yang menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (puasa) di bulan
Ramadan karena lupa, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya (tidak perlu
diqadha)."
Penjelasan
Hadits:
1. Makna
Hadits:
o Hadits
ini menegaskan bahwa jika seorang Muslim berbuka puasa di bulan Ramadan karena
lupa, maka mereka tidak berkewajiban untuk mengganti puasa tersebut. Ini
menunjukkan bahwa Allah mengampuni kesalahan yang tidak disengaja.
2. Konteks
Kebolehan:
o Dalam
praktik puasa, ada kemungkinan seseorang lupa bahwa mereka sedang berpuasa dan
secara tidak sengaja makan atau minum. Hadits ini memberikan kepastian bahwa
tindakan tersebut tidak membatalkan puasa dan tidak memerlukan qadha (mengganti
puasa di hari lain).
3. Pentingnya
Niat dan Kesadaran:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa niat dan kesadaran dalam berpuasa adalah hal yang
penting. Jika seseorang melakukan suatu tindakan yang membatalkan puasa tanpa
niat dan karena lupa, mereka tetap dalam keadaan yang tidak berdosa.
4. Keleluasaan
dalam Agama:
o Dalam
Islam, ada banyak keringanan yang diberikan kepada umatnya. Hadits ini
menggarisbawahi prinsip bahwa agama ini mudah dan tidak memberatkan. Allah
memahami kondisi manusia yang terkadang bisa lupa dan lemah.
Kesimpulan:
Hadits ini
menegaskan bahwa jika seseorang berbuka puasa di bulan Ramadan karena lupa,
mereka tidak diwajibkan untuk mengganti puasa tersebut. Ini merupakan bentuk
kasih sayang dan keringanan dari Allah kepada hamba-Nya. Umat Islam seharusnya
merasa tenang dan tidak perlu khawatir jika terjadi hal yang tidak disengaja
saat berpuasa, karena Allah selalu memberikan pengampunan untuk kesalahan yang
tidak disengaja.
٢٤وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : ( مَنْ ذَرَعَهُ القَى فَلَا قِضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاء
فَعَلَيْهِ القَضَاءُ رَوَاهُ الخمسة، وَ اعَلَهُ أَحْمَدُ، وَقَوَّاهُ الدَّارَ
قُطني
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang menyampaikan bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang
terpaksa muntah (karena tidak sengaja), maka tidak ada kewajiban untuk
menggantinya, dan barangsiapa yang dengan sengaja muntah, maka ia wajib
menggantinya (puasa)."
Penjelasan
Hadits:
1. Makna
Hadits:
o Hadits
ini membahas tentang dua kondisi yang berbeda berkaitan dengan puasa:
§ Muntah
yang tidak disengaja (dzara'ahu al-qayyu): Jika seseorang muntah tanpa sengaja, maka
puasa mereka tidak batal dan mereka tidak perlu mengganti (qadha) puasa
tersebut.
§ Muntah
yang disengaja (istiqaa): Jika seseorang dengan sengaja menyebabkan dirinya muntah,
maka puasa mereka batal dan mereka diwajibkan untuk mengganti puasa di hari
lain.
2. Konteks
Kebolehan:
o Hadits
ini menjelaskan tentang perbedaan antara tindakan yang disengaja dan yang tidak
disengaja dalam konteks puasa. Dalam Islam, tindakan yang dilakukan tanpa niat
dan tanpa sengaja tidak akan mendapatkan konsekuensi hukuman, sedangkan
tindakan yang dilakukan dengan sengaja akan mempertanggungjawabkan akibatnya.
3. Keringanan
dalam Agama:
o Islam
adalah agama yang memudahkan umatnya. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah
memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berpuasa, sehingga mereka tidak
dihukum karena tindakan yang tidak disengaja.
4. Prinsip
Umum:
o Prinsip
dari hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap tindakan memiliki niat di
baliknya. Jika seseorang melakukan sesuatu yang berdampak pada puasa mereka
tanpa niat, maka mereka tetap dalam keadaan baik. Namun, jika mereka
melakukannya dengan niat, maka mereka harus mempertanggungjawabkan tindakannya.
Kesimpulan:
Hadits ini
menjelaskan bahwa puasa seseorang tidak akan batal jika mereka muntah tanpa
disengaja. Sebaliknya, jika mereka muntah dengan sengaja, puasa mereka batal
dan harus diganti. Ini merupakan salah satu contoh bagaimana Islam memberikan
keringanan kepada umatnya, serta menekankan pentingnya niat dalam setiap
tindakan.
٢٥وَعَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ رَضِى اللهُ عَنْهُما : (اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَة فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى
بَلَغَ كَرَاعَ الخَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَةٍ مِنْ مَاءٍ
فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَشَرِبَ تُم قِيلَ لَهُ بَعْدَ
ذَلِكَ : اِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ(أُولَئِكَ العُصَاةُ أُولَئِكَ
العُصَاةُ) وَفِي لَفْظُ : ( فَقِيلَ لَهُ : اِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقٌ عَلَيْهِمُ
الصِّيَامُ، وَإِنَّمَا يَنتَظِرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ ، فَدَعَا بِقَدَح مِنْ
مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَشَرِبَ ) رواه مسلم
Hadits ini
diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan
tentang tindakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam selama perjalanan ke
Makkah pada tahun penaklukan (Fath Makkah) yang terjadi di bulan Ramadan.
Berikut adalah penjelasan dari hadits ini:
Isi
Hadits:
1. Konteks
Peristiwa:
o Pada
tahun penaklukan Makkah, Rasulullah keluar menuju Makkah dalam bulan Ramadan
dan berpuasa. Ketika beliau telah sampai di suatu tempat yang disebut Karā'
al-Khamīm, beliau berbuka puasa dengan cara minum air di hadapan orang-orang.
2. Perilaku
Beliau:
o Setelah
minum, Rasulullah diberitahu bahwa ada beberapa orang yang tetap berpuasa.
Beliau menyebut mereka sebagai "al-'usāh," yang berarti "para
pelanggar" atau "para pemberontak," menunjukkan bahwa mereka
telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan situasi yang dihadapi, yakni
situasi di mana berpuasa saat perjalanan (safar) diperbolehkan untuk tidak
dilakukan.
3. Keputusan
untuk Buka Puasa:
o Rasulullah
kemudian mengambil keputusan untuk menghilangkan beban bagi umatnya dengan
menunjukkan bahwa dalam keadaan tertentu, seperti dalam perjalanan, puasa bisa
dibatalkan. Beliau melakukan hal ini untuk memberikan pengajaran kepada umatnya
agar tidak membebani diri mereka dengan puasa dalam situasi yang sulit.
Makna dan
Hikmah Hadits:
1. Pengajaran
Tentang Keringanan dalam Puasa:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa dalam agama Islam, ada keringanan bagi mereka yang dalam
perjalanan untuk tidak berpuasa. Hal ini merupakan salah satu bentuk kasih
sayang dan kemudahan dari Allah kepada hamba-Nya.
2. Tindakan
Mencontohkan:
o Dengan
menunjukkan kepada umatnya bahwa beliau sendiri berbuka puasa, Rasulullah
memberi teladan bahwa mereka tidak perlu merasa bersalah jika memilih untuk
tidak berpuasa saat dalam perjalanan.
3. Kesadaran
Akan Tuntunan:
o Hadits
ini mengingatkan kita untuk selalu merujuk kepada petunjuk Rasulullah dalam
menjalani ibadah, serta memahami situasi dan kondisi yang mungkin mengubah cara
kita beribadah, seperti perjalanan.
4. Keseimbangan
Antara Ketegasan dan Kebijaksanaan:
o Meskipun
Rasulullah menyebut para sahabat yang berpuasa sebagai "al-'usāh,"
ini tidak berarti beliau mengabaikan kesungguhan mereka, melainkan menegaskan
bahwa ada situasi tertentu yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan ibadah.
Kesimpulan:
Hadits ini
menekankan pentingnya memahami konteks dalam menjalankan ibadah, terutama
puasa. Ada keringanan dalam agama untuk situasi-situasi tertentu, dan tindakan
Rasulullah dalam menunjukkan praktik berbuka puasa merupakan pengajaran bagi
umat agar memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip Islam dengan bijaksana.
وَعَنْ
حَمْزَةَ بْنِ عَمِرٍ وَ الْأَسْلَمِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّهُ قَالَ : (
يَا رَسُولَ اللهِ : اِنّي اَجِدُ فِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ
فَهَلْ عَلَى جُنَاحٌ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
هِيَ رُخْصَةُ مِنَ اللهِ، فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنُ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَصُومَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ) رَوَاهُ مُسْلِمُ، وَاصْلُهُ فِي
الْمُتَّفَقعَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍ وسَأَلَ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Hamzah bin Amr al-Aslami radhiyallahu 'anhu, yang menanyakan
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai puasa saat dalam
perjalanan (safar). Berikut adalah penjelasan dari hadits ini:
Isi
Hadits:
1. Pertanyaan
dari Hamzah bin Amr:
o Hamzah
bertanya kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, saya merasa mampu untuk
berpuasa saat dalam perjalanan. Apakah ada dosa jika saya melakukannya?"
Pertanyaan ini menunjukkan ketertarikan Hamzah untuk tetap berpuasa meskipun
dalam kondisi perjalanan.
2. Jawaban
Rasulullah:
o Rasulullah
menjawab bahwa puasa saat perjalanan adalah "rukhsah" (keringanan)
dari Allah. Beliau menyatakan bahwa siapa yang ingin mengambil keringanan ini,
maka itu baik. Namun, jika ada yang lebih memilih untuk berpuasa saat
perjalanan, maka tidak ada dosa bagi mereka yang melakukannya.
Makna dan
Hikmah Hadits:
1. Keringanan
dalam Beribadah:
o Hadits
ini menekankan bahwa Allah memberikan keringanan dalam menjalankan ibadah
puasa, terutama saat dalam perjalanan. Ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang memudahkan umatnya, bukan mempersulit.
2. Pilihan
untuk Berpuasa:
o Meskipun
ada keringanan, Rasulullah mengakui bahwa sebagian orang mungkin merasa mampu
untuk berpuasa saat bepergian. Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa tidak
ada dosa bagi orang yang memilih untuk berpuasa dalam perjalanan asalkan ia
merasa kuat dan mampu.
3. Kesadaran
Akan Kekuatan Diri:
o Hadits
ini mengajarkan umat Islam untuk mengenali dan menghargai batasan diri mereka.
Setiap individu memiliki kapasitas yang berbeda dalam menjalankan ibadah, dan
penting untuk menilai kondisi fisik masing-masing.
4. Menghormati
Keputusan Individu:
o Rasulullah
mengakui hak individu untuk memilih antara mengambil keringanan atau tetap
berpuasa. Ini menunjukkan pentingnya menghormati pilihan dan keputusan
masing-masing dalam konteks ibadah.
Kesimpulan:
Hadits ini
memberikan panduan yang jelas mengenai pelaksanaan puasa saat dalam perjalanan.
Keringanan yang diberikan oleh Allah adalah bentuk kasih sayang-Nya kepada
umat-Nya, dan Rasulullah mendorong umat untuk menilai kemampuan diri
masing-masing dalam menjalankan ibadah. Baik memilih untuk berpuasa atau tidak,
keduanya diterima dalam syariat Islam tanpa ada tekanan, selama didasari dengan
niat dan kesungguhan dalam beribadah.
وَعَنِ
ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : رُخِصَ للشيخ الكبير ان يُفْطِرَ
وَيُطْعِمَ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلَا اَنْ قضَاءَ عَلَيْهِ ) رَوَاهُ
الدَّارَ قُطئُ وَالْحَاكِمُ وَصَحَاهُ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibn Abbas radhiyallahu 'anhu dan menjelaskan tentang
keringanan yang diberikan kepada orang tua atau orang yang sudah lanjut usia
dalam pelaksanaan ibadah puasa. Berikut adalah penjelasan dari hadits ini:
Isi
Hadits:
1. Rukhshah
untuk Sheikh Kecil:
o Dalam
hadits ini, Ibn Abbas menyampaikan bahwa seorang "sheikh" (orang tua)
yang sudah sangat lanjut usia diberikan keringanan untuk tidak berpuasa.
Sebagai gantinya, mereka diperbolehkan untuk berbuka puasa dan memberi makan
kepada seorang miskin untuk setiap hari yang mereka tidak puasa.
2. Kewajiban
untuk Memberi Makan:
o Orang
tua yang tidak dapat berpuasa tidak diwajibkan untuk meng-qadha (mengganti)
puasa yang ditinggalkan. Sebagai pengganti puasa yang tidak dilakukan, mereka
cukup memberikan makanan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang mereka
tidak puasa.
Makna dan
Hikmah Hadits:
1. Keringanan
bagi Orang Tua:
o Hadits
ini menegaskan bahwa dalam Islam, terdapat keringanan bagi orang-orang yang
tidak mampu menjalankan ibadah puasa, termasuk orang tua yang sudah lanjut
usia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan kondisi
dan kemampuan individu.
2. Pentingnya
Memberikan Makanan kepada Miskin:
o Memberikan
makanan kepada miskin sebagai pengganti puasa menunjukkan pentingnya amal
sosial dalam Islam. Ini tidak hanya membantu orang yang tidak mampu tetapi juga
merupakan bentuk kepatuhan terhadap ajaran agama.
3. Menjaga
Kesehatan:
o Keringanan
ini mencerminkan perhatian Islam terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat.
Dengan tidak mewajibkan orang tua untuk berpuasa, agama ini menjaga agar mereka
tidak mengalami kesulitan atau masalah kesehatan yang mungkin timbul akibat
puasa.
4. Prinsip
Keadilan dan Kebijaksanaan dalam Ibadah:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya menginginkan keadilan dan
kebijaksanaan dalam menjalankan ibadah. Ibadah harus disesuaikan dengan
kemampuan individu, dan Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang
tidak mampu mereka pikul.
Kesimpulan:
Hadits ini
memberikan pemahaman yang jelas tentang keringanan yang diberikan kepada orang
tua yang sudah lanjut usia dalam menjalankan puasa. Mereka diizinkan untuk
berbuka puasa dan memberikan makanan kepada miskin sebagai pengganti, tanpa ada
kewajiban untuk mengganti puasa. Hal ini menegaskan sifat kasih sayang dan
kelemahan agama Islam yang mengutamakan kesejahteraan umat serta mengajarkan
pentingnya membantu sesama, terutama bagi mereka yang membutuhkan.
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ وَسَلَّمَ فَقَالَ :
هَلَكَتْ يَا رَسُولَ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ اللهِ، قَالَ: وَمَا
اَهْلَكَكَ ؟ قَالَ : وَقَعَتْ عَلَى امْرَانِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ هَلْ
تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةُ ؟ قَالَ لَا، قَالَك فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ
تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ ؟ قَالَ لَا ، قَالَ فَهَلْ تَجِدُ مَا
تُطْعِمُ سِنِينَ مِسْكِينًا ؟ قَالَ لَا ، ثُمَّ جَلَسَكَ. فَاتِي النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمَرُّ فَقَالَ تَصَدَّقَ
بِهذَا، فَقَالَ اَعلَى أَفْقَرَ مِنَا ؟ فَمَا بَيْنَ لَا بَتَيْهَا أَهْلُ تِ
أَحْوَجُ اِلَيْهِ مِنَا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ : اذْهَبْ فَاطْعِمْهُ أَهْلَكَ ) رَوَاهُ
السَّبْعَةُ، وَاللفظ السلم
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dan mengisahkan tentang
seorang pria yang datang kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam
dengan perasaan cemas karena telah melakukan kesalahan selama bulan Ramadan.
Berikut adalah penjelasan rinci mengenai hadits ini:
Isi
Hadits:
1. Pengakuan
Kesalahan:
o Seorang
pria mendatangi Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam dan mengaku bahwa
dia telah melakukan suatu tindakan yang merusak puasanya di bulan Ramadan. Dia
menyatakan bahwa dia merasa telah "tercelaka" karena perbuatannya.
2. Pertanyaan
Nabi:
o Nabi
Muhammad kemudian bertanya kepadanya apa yang telah dilakukannya yang
membuatnya merasa celaka. Ketika pria itu menjelaskan bahwa dia telah
berhubungan dengan istrinya (berjima') di siang hari bulan Ramadan, Nabi pun
memberikan beberapa pilihan sebagai bentuk penebusan.
3. Pilihan
Penebusan:
o Nabi
menawarkan tiga pilihan untuk menebus kesalahan:
§ Memerdekakan
seorang budak
(mengeluarkan uang untuk membebaskan seseorang dari perbudakan).
§ Berpuasa
selama dua bulan berturut-turut.
§ Memberi
makan kepada 60 orang miskin.
4. Ketidakmampuan
Pria Tersebut:
o Pria
itu menjawab bahwa dia tidak mampu melakukan ketiga pilihan tersebut. Setelah
itu, Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam memerintahkan agar dia memberi
makan kepada orang miskin.
5. Memberi
Makanan:
o Nabi
kemudian memberi pria tersebut sebuah keranjang yang berisi kurma dan berkata,
"Bersedekahlah dengan ini." Pria itu meragukan apakah itu bisa
diberikan kepada orang yang lebih miskin daripada dirinya. Nabi Muhammad
kemudian tersenyum dan mengatakan agar dia memberikan kurma tersebut kepada
keluarganya sendiri.
Makna dan
Hikmah Hadits:
1. Pentingnya
Mengakui Kesalahan:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa mengakui kesalahan adalah langkah penting dalam proses
taubat. Pria itu tidak ragu untuk datang kepada Nabi dan mengungkapkan
kesalahannya.
2. Rukhshah
dan Kemudahan dalam Ibadah:
o Dalam
Islam, Allah memberikan kemudahan bagi umat-Nya dalam menjalankan ibadah,
termasuk dalam hal penebusan dosa. Hal ini menunjukkan sifat kasih sayang dan
keleluasaan dalam syariat Islam.
3. Kepedulian
Sosial:
o Memberi
makan kepada orang miskin adalah salah satu bentuk amal dan kepedulian sosial
yang sangat ditekankan dalam Islam. Dalam situasi ini, meskipun pria tersebut
merasa tidak layak, Nabi mendorongnya untuk tetap memberi makan kepada
keluarganya.
4. Kebaikan
dalam Memberi:
o Nabi
Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam menekankan bahwa meskipun pria tersebut
merasa kurang beruntung, dia tetap bisa memberi manfaat kepada keluarganya dan
orang lain.
5. Humor
dan Kebaikan Nabi:
o Reaksi
Nabi Muhammad yang tersenyum menunjukkan sisi kemanusiaan dan humor dalam
menghadapi situasi yang serius, serta menciptakan suasana yang lebih ringan
dalam situasi tegang.
Kesimpulan:
Hadits ini
mengajarkan kita tentang pentingnya mengakui kesalahan, mencari penebusan, dan
memberikan amal kepada sesama. Ini juga menunjukkan bahwa Islam adalah agama
yang memudahkan umatnya dalam menjalankan ibadah dan memberi kesempatan untuk
bertobat tanpa merasa tertekan. Sikap Nabi Muhammad yang penuh kasih sayang dan
humor dalam menghadapi situasi ini juga menjadi contoh bagi kita dalam
menghadapi orang-orang yang sedang mengalami kesulitan atau merasa bersalah.
٢٩وَعَنْ عَائِشَةَ
وَأَمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : ( اَنَّ النبي صلى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبا مِنْ جَمَاعِ ، ثمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Hadits ini
diriwayatkan oleh Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhuma, dan menunjukkan
tentang kebiasaan Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam terkait dengan
keadaan junub (tidak suci) dan puasa. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai
hadits ini:
Isi
Hadits:
- Keadaan Junub di Pagi
Hari:
- Hadits ini
mengisahkan bahwa Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam sering kali
terbangun dalam keadaan junub setelah berhubungan dengan istri-istrinya
di malam hari.
- Mengambil Wudhu dan
Puasa:
- Meskipun dalam
keadaan junub, Nabi tetap berpuasa setelah melakukan mandi junub (ghusl)
sebelum terbitnya fajar.
Makna dan
Hikmah Hadits:
1. Keberadaan
Junub Tidak Menghalangi Puasa:
o Hadits
ini menunjukkan bahwa seseorang yang terbangun dalam keadaan junub masih dapat
berpuasa di hari berikutnya setelah mandi junub. Ini adalah hal yang penting
untuk dipahami oleh umat Islam, karena banyak yang mungkin khawatir bahwa
keadaan junub di pagi hari dapat menghalangi puasa.
2. Prosedur
Mandi Junub:
o Ini
menunjukkan pentingnya mandi junub sebelum memulai puasa, agar seseorang dalam
keadaan suci saat berpuasa. Mandi junub merupakan kewajiban bagi siapa saja
yang dalam keadaan junub, baik setelah berhubungan suami-istri atau karena
sebab lainnya.
3. Contoh
dari Nabi:
o Nabi
Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam adalah contoh terbaik bagi umatnya.
Dengan mengamalkan puasa meskipun terbangun dalam keadaan junub, beliau
memberikan teladan kepada umatnya tentang bagaimana menjalani ibadah dengan
baik dan benar.
4. Keseimbangan
antara Ibadah dan Kehidupan Sehari-hari:
o Hadits
ini juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam menjalani
kehidupan normalnya sebagai suami dan tetap mengedepankan ibadah. Hal ini
mencerminkan keseimbangan yang baik antara kehidupan duniawi dan kehidupan
spiritual.
5. Penegasan
tentang Kesucian:
o Hadits
ini menegaskan bahwa kesucian fisik (suci dari junub) adalah syarat penting
untuk menjalankan ibadah tertentu, namun tidak menghalangi puasa selama
seseorang melakukan mandi junub dengan benar.
Kesimpulan:
Hadits ini
mengajarkan kepada umat Islam bahwa keadaan junub di pagi hari tidak
menghalangi seseorang untuk berpuasa. Yang terpenting adalah melakukan mandi
junub sebelum terbit fajar. Ini menjadi pelajaran penting tentang bagaimana
cara menjaga kesucian dan menjalani ibadah puasa dengan benar sesuai dengan
contoh yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad sallallahu 'alayhi wa sallam.
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : ( مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَاهُ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ) متفق
عليه
Hadits ini
diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha dan menunjukkan tentang kewajiban
bagi wali (orang yang ditunjuk untuk mewakili) untuk menggantikan puasa bagi
seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan memiliki utang puasa. Berikut
adalah penjelasan rinci mengenai hadits ini:
Isi
Hadits:
- Konteks: Nabi Muhammad
sallallahu 'alayhi wa sallam bersabda bahwa jika seseorang meninggal dunia
dan masih memiliki utang puasa (baik karena tidak mampu berpuasa selama
Ramadan karena alasan tertentu atau karena sakit), maka wali-nya atau
orang yang berhak mewakili dapat menggantikan puasa tersebut.
Makna dan
Hikmah Hadits:
1. Utang
Puasa:
o Hadits
ini menggarisbawahi pentingnya menyelesaikan utang puasa, karena puasa adalah
salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada setiap Muslim yang mampu. Jika
seseorang meninggal dunia tanpa sempat menyelesaikan puasanya, maka utang
tersebut tidak terhapus dengan kematiannya.
2. Peran
Wali:
o Wali
yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang-orang terdekat, seperti anak,
saudara, atau kerabat. Mereka berkewajiban untuk melaksanakan puasa bagi
almarhum sebagai bentuk penghormatan dan pelaksanaan tanggung jawab atas utang
puasa yang ditinggalkan.
3. Bentuk
Ibadah dan Doa:
o Mengganti
puasa orang yang telah meninggal merupakan salah satu bentuk ibadah dan doa
untuk almarhum. Dalam Islam, mendoakan dan melakukan amal baik bagi orang yang
telah meninggal sangat dianjurkan.
4. Dapat
Menjadi Kewajiban:
o Jika
seorang Muslim meninggal dengan utang puasa, maka ada tanggung jawab bagi
keluarganya untuk melaksanakan puasa tersebut. Ini menunjukkan bahwa tanggung
jawab ibadah tidak hanya terbatas pada individu yang bersangkutan, tetapi juga
dapat melibatkan orang lain.
5. Akhirat
dan Tanggung Jawab:
o Hadits
ini juga mengingatkan kita akan tanggung jawab kita terhadap orang yang kita
cintai. Dengan menggantikan puasa mereka, kita berupaya membantu mereka dalam
hal yang dapat meringankan beban di akhirat.
Kesimpulan:
Hadits ini
menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia dan memiliki utang puasa, maka
wali-nya diperbolehkan untuk melaksanakan puasa sebagai pengganti. Ini adalah
suatu kewajiban yang perlu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan
spiritual, dan juga menunjukkan pentingnya saling membantu dalam urusan ibadah
di antara sesama Muslim. Hadits ini menjadi pelajaran penting bagi kita untuk
memperhatikan hak-hak orang lain, terutama yang berkaitan dengan ibadah.
Komentar
Posting Komentar