ORANG YANG BERHAK DAN TIDAK BERHAK MENERIMA ZAKAT

  عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( لَا تَحِلُ الصَّدَقَةُ لِغَنِيّ الالخمسة العامِل عَلَيْهَا ، اَورَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، اَوعَارِم أو غاز فِي سَبِيلِ اللهِ ، اَوْ مِسْكِينِ تُصدِّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَاهْدَى لِغَنِيّ ( رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ ومَحَحَهُ الْحَاكُم وَاعلَ بِالْإِرسال

 

Hadits yang disampaikan oleh Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ:

"(Sedekah tidak halal bagi orang kaya kecuali lima orang:

1.    Orang yang bekerja mengurusi sedekah.

2.    Orang yang membelinya dengan hartanya.

3.    Orang yang terkena dampak sedekah atau orang yang berperang di jalan Allah.

4.    Orang miskin yang menerima sedekah, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya."

 

Penjelasan Hadits

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengecualian bagi siapa saja yang boleh menerima sedekah. Umumnya, sedekah ditujukan untuk orang miskin atau mereka yang membutuhkan, tetapi dalam kasus ini ada beberapa pengecualian. Berikut penjelasannya:

1.    Pekerja yang Mengurusi Sedekah
Orang yang bekerja untuk mengumpulkan, mendistribusikan, atau mengelola sedekah (amil zakat) memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari sedekah tersebut. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

 

"إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا ..."

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat...”
(QS. At-Taubah: 60).

2.    Orang yang Membeli Sedekah dengan Hartanya
Jika seseorang yang kaya membeli sesuatu yang diberikan sebagai sedekah kepada orang miskin, maka ini diperbolehkan. Sebab, orang kaya tersebut tidak mengambilnya sebagai sedekah tetapi sebagai pembelian yang sah.

3.    Pejuang di Jalan Allah (Fi Sabilillah)
Orang yang berperang di jalan Allah termasuk dalam pengecualian ini. Mereka meskipun kaya, berhak menerima sedekah sebagai bentuk dukungan dalam perjuangan mereka. Ini juga dikuatkan dalam Al-Qur’an:

 

"إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ... وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ"

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk... orang-orang yang berjuang di jalan Allah (fi sabilillah)”
(QS. At-Taubah: 60).

 

4.    Orang Miskin yang Menyumbangkan Sedekah kepada Orang Kaya
Jika seorang miskin menerima sedekah kemudian menghadiahkan sebagian dari apa yang diterimanya kepada orang kaya, ini dibolehkan. Sebab, pada dasarnya hadiah dari orang miskin tersebut bukan lagi sedekah, tetapi sudah menjadi hadiah yang sah kepada orang kaya.

 

Kisah Ulama

Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang penerimaan zakat oleh orang yang mampu. Beliau menjelaskan bahwa jika zakat tersebut diberikan kepada orang miskin dan kemudian orang miskin tersebut memberikan sebagian dari zakatnya kepada orang kaya sebagai hadiah, maka hal itu diperbolehkan. Ulama lainnya juga sependapat bahwa hadiah yang berasal dari zakat yang telah diterima tidak lagi dianggap sebagai zakat, melainkan murni hadiah.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur’an dan Hadits

1.    QS. At-Taubah: 60
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam ayat ini, amil zakat (pengelola sedekah), orang-orang yang berjuang di jalan Allah (fi sabilillah), dan para fakir miskin disebutkan sebagai pihak yang berhak menerima sedekah, memberikan landasan bagi hadits yang membolehkan pengecualian-pengecualian tertentu.

 

2.    Hadits Riwayat Muslim
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak halal bagi seorang yang kaya untuk mengambil bagian dari zakat kecuali jika dia bekerja sebagai amil (pengelola zakat).”
(HR. Muslim).

Hadits ini menegaskan bahwa pengecualian diberikan kepada amil zakat, karena mereka berhak mendapatkan bagian dari sedekah sebagai upah atas pekerjaan mereka.

 

Kesimpulan

Hadits ini menunjukkan bahwa sedekah pada umumnya tidak diperuntukkan bagi orang kaya, kecuali dalam beberapa situasi khusus. Pengecualian ini meliputi amil zakat, orang yang membeli sedekah dengan hartanya, pejuang di jalan Allah, serta orang miskin yang memberikan hadiah dari sedekah yang diterimanya.

 

 

وَعَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَدِي بْنِ الْخَيَارِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : انَّ رَجُلَيْنِ حَدَّثَاهُ اكهما اَتَيَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَسْأَلَآنِهِ مِنَ الصَّدَقَةِ فَقَلبَ فِيهَا النَّظَرَ فَرَاهُما جَلْدَيْنِ فَقَالَ : إِن شئما أعطَيْتُكُما ، وَلَاحَظَ فِيهَا لِغَنِي، وَلَا لِقَوِي مُكْتَب رَوَاهُ أَحمدُ وَقَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِي

 

Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Ubaidillah bin ‘Adi bin Al-Khiyar radhiyallahu ‘anhu. Dalam hadits tersebut, diceritakan bahwa dua orang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta bagian dari sedekah (zakat). Rasulullah kemudian melihat keadaan fisik mereka dan menemukan bahwa mereka adalah orang yang kuat dan mampu bekerja. Rasulullah pun berkata:

 

إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ

"Jika kalian mau, aku akan memberikannya kepada kalian, tetapi tidak ada bagian dari sedekah untuk orang yang kaya, ataupun orang yang kuat dan mampu bekerja."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i).

 

Penjelasan Hadits

Hadits ini mengajarkan bahwa zakat atau sedekah tidak diperuntukkan bagi orang yang tidak membutuhkannya, termasuk:

1.    Orang Kaya
Orang kaya, dalam konteks zakat dan sedekah, adalah orang yang memiliki harta cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Orang seperti ini tidak berhak menerima zakat, karena zakat ditujukan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti fakir miskin.

2.    Orang yang Kuat dan Mampu Bekerja
Orang yang kuat dan mampu bekerja ("
قَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ") juga tidak berhak menerima sedekah. Maksudnya, seseorang yang memiliki kemampuan fisik dan mental untuk mendapatkan penghasilan sendiri melalui bekerja, tidak seharusnya mengambil bagian dari zakat atau sedekah, karena dia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Rasulullah memberikan pilihan kepada kedua orang tersebut, tetapi juga memberi penjelasan bahwa mereka seharusnya tidak menerima sedekah karena mereka kuat dan mampu bekerja.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur'an

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 

"إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ"

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah: 60).

Ayat ini menegaskan bahwa zakat diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Sedangkan orang yang kuat dan kaya, tidak termasuk dalam golongan yang disebutkan dalam ayat tersebut.

 

Dalil Pendukung dari Hadits

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: لِغَازٍ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَرِيمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ فَأُهْدِيَتْ لَهُ"

"Sedekah tidak halal bagi orang kaya kecuali untuk lima golongan:

1.    Orang yang berperang di jalan Allah.

2.    Orang yang bekerja mengelola sedekah.

3.    Orang yang berhutang.

4.    Orang yang membeli sesuatu dari sedekah dengan hartanya sendiri.

5.    Orang yang menerima sedekah lalu memberikan sebagai hadiah kepada orang kaya."
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa'i).

Hadits ini mempertegas bahwa sedekah hanya diperuntukkan bagi yang berhak, dan orang kaya atau orang yang mampu bekerja tidak termasuk kecuali dalam keadaan tertentu.

 

Kisah Ulama

Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu fatwanya pernah ditanya tentang bolehkah seorang yang kuat dan mampu bekerja menerima zakat. Beliau menegaskan bahwa orang yang mampu bekerja tidak berhak menerima zakat. Menurut Imam Ahmad, hal ini sesuai dengan sunnah Nabi yang menunjukkan bahwa sedekah dan zakat harus disalurkan kepada yang benar-benar membutuhkannya, bukan kepada orang yang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni juga menjelaskan bahwa salah satu syarat orang yang berhak menerima zakat adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk mencukupi dirinya sendiri, baik karena ketidakmampuan fisik atau kekurangan harta.

Kesimpulan

 

Hadits ini menegaskan bahwa sedekah atau zakat tidak diperbolehkan bagi orang yang kaya atau orang yang kuat dan mampu mencari nafkah. Prinsip dasar dari zakat adalah membantu mereka yang membutuhkan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Islam mengajarkan pentingnya keadilan sosial, termasuk dalam mendistribusikan zakat kepada mereka yang layak menerimanya.

 

 

٣وَعَنْ قِبَيصَةَ بْنِ مُخَارِقِ الهِلَا لِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إن المسألة لَا تَحِلُ الا لاحد ثَلَاثَةِ : رَجُل تَحَمَّلَ حَمَالَهُ فَخَلَتْ لَهُ المسالة حتى ثم يمسك، وَرَجُل أَصَابَتْهُ جَائِعَهُ اجْتَاحَتْ مَا لَهُ ورود يُصِيبها فَحَلَّتْ لَهُ المَسالَةَ حَتَّى يُصِيبَ قِوَا مَا مِنْ عَيْشٍ ، وَرَجُلٍ اَصَابَتْهُ فَاقَةُ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَهُ مِنْ ذَوِى الْحِجَى مِنْ قَوْمِهِ : ވ لَقَدْ اَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَهُ ، فَخَلَّتْ لَهُ المَسالَهُ حَتَّى يُصِيبَ قوامًا مِنْ عَيْشِ ، فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَة يَا قَبِيصَةٌ سُعْتُ يَأكُلُهُ صَاحِبَهُ سُحْتًا ) رَوَاهُ مُسْلِمُ وَاَبُو دَاوُدَ وَابْنُ خُزَء وَابْنُ حيَّانَ

 

Hadits ini diriwayatkan oleh Qabishah bin Mukhariq al-Hilali radhiyallahu 'anhu, dan diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaymah, dan Ibnu Hibban. Hadits ini berhubungan dengan hukum meminta-minta dalam Islam dan kapan seseorang diizinkan untuk melakukannya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi tiga orang:

1.    Seseorang yang menanggung beban hutang demi mendamaikan orang lain, maka diperbolehkan baginya meminta-minta sampai ia mendapatkan dana yang cukup, lalu ia berhenti.

2.    Seseorang yang hartanya musnah karena bencana sehingga membuatnya jatuh miskin, maka diperbolehkan baginya meminta-minta sampai ia memperoleh penghidupan yang cukup untuk menutupi kebutuhannya.

3.    Seseorang yang dilanda kemiskinan berat sehingga tiga orang yang bijaksana dari kaumnya bersaksi bahwa dia memang miskin, maka diperbolehkan baginya meminta-minta sampai ia mendapatkan penghidupan yang cukup.

Adapun selain tiga hal tersebut, wahai Qabishah, maka meminta-minta adalah haram dan pelakunya memakan harta yang haram (suhut)."**

(HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Khuzaymah, dan Ibnu Hibban)

 

Penjelasan Hadits

Hadits ini menekankan bahwa meminta-minta atau mengemis tidak diizinkan dalam Islam kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak dan terbatas pada tiga situasi:

1.    Orang yang menanggung beban hutang (رَجُل تَحَمَّلَ حَمَالَهُ)
Maksudnya adalah seseorang yang berhutang karena dia menanggung beban untuk menyelesaikan konflik atau membantu mendamaikan dua pihak yang berselisih, yang dikenal dalam istilah Arab sebagai "hamalah". Rasulullah memperbolehkan orang tersebut untuk meminta bantuan kepada masyarakat sampai hutangnya terlunasi. Namun setelah itu, dia harus berhenti meminta-minta.

2.    Orang yang terkena bencana dan hartanya musnah (رَجُل أَصَابَتْهُ جَائِعَهُ اجْتَاحَتْ مَا لَهُ)
Ini merujuk pada orang yang mengalami musibah, seperti bencana alam atau krisis yang menghancurkan seluruh hartanya, membuatnya tidak memiliki apa-apa. Orang seperti ini diizinkan meminta-minta sampai dia mendapatkan kembali penghidupannya yang layak.

3.    Orang yang mengalami kemiskinan yang sangat berat (رَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةُ)
Ini adalah orang yang benar-benar miskin dan tidak memiliki cara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Namun, agar tidak terjadi penyalahgunaan, diperlukan saksi dari tiga orang yang bijaksana dan terpercaya dari komunitasnya yang memastikan bahwa dia memang berada dalam kondisi miskin. Setelah itu, dia diperbolehkan meminta sampai ia dapat memenuhi kebutuhannya.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur'an

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

 

"لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا"

"(Sedekah itu) diberikan kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifat mereka, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak."
(QS. Al-Baqarah: 273).

Ayat ini menggambarkan orang-orang yang tidak meminta-minta meskipun mereka dalam keadaan sulit, dan menekankan bahwa sedekah harus diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkannya.

 

Dalil Pendukung dari Hadits Lain

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

"Barangsiapa yang meminta-minta kepada manusia untuk memperkaya dirinya, sesungguhnya dia meminta bara api neraka, maka hendaklah dia sedikit atau banyak."
(HR. Muslim no. 1041)

Hadits ini menunjukkan ancaman keras bagi orang yang meminta-minta untuk keuntungan pribadi dan bukan karena kebutuhan yang mendesak. Permintaan seperti itu dianggap sebagai perbuatan yang haram dan membawa dampak buruk di akhirat.

 

Perkataan Ulama

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa meminta-minta hanya diizinkan dalam kondisi darurat sebagaimana dijelaskan dalam hadits ini. Beliau menegaskan bahwa jika seseorang berada dalam kondisi normal dan mampu bekerja, maka meminta-minta adalah haram baginya. Ulama lain seperti Ibnu Hajar al-Asqalani juga menambahkan bahwa orang yang meminta-minta tanpa alasan yang syar'i dianggap memakan harta yang haram.

 

Kisah Ulama

Ada kisah terkenal tentang Imam Abu Hanifah rahimahullah. Suatu ketika, beliau melihat seorang yang dikenal kaya sedang meminta-minta. Imam Abu Hanifah menegurnya dan mengingatkan bahwa meminta-minta tidak diperbolehkan bagi orang yang mampu mencukupi dirinya. Kisah ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kehormatan diri dan tidak meminta-minta kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.

 

Kesimpulan

Hadits ini menegaskan bahwa Islam sangat mementingkan kehormatan diri dan hanya mengizinkan seseorang untuk meminta-minta dalam situasi yang sangat mendesak, yaitu:

1.    Menanggung hutang untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.

2.    Kehilangan harta karena bencana besar.

3.    Mengalami kemiskinan yang disaksikan oleh tiga orang yang bijaksana.

Selain dari tiga situasi tersebut, meminta-minta dianggap haram dan memakan harta yang haram. Islam sangat mendorong umatnya untuk menjaga martabat diri, bekerja keras, dan hanya meminta bantuan jika benar-benar dalam keadaan darurat.

 

اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ : ( اِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لا ا مُحَمَّدٍ تَمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ، وَفِي رِوَايَة : ( وَإِنَّهَا لَا تَحِلُ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِاَلِ مُحَمَّدٍ ) رَوَاهُ مُسلم

 

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin Harits radhiyallahu 'anhu ini menyatakan bahwa sedekah tidak boleh diberikan kepada keluarga Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya sedekah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran (harta yang tidak bersih) dari harta manusia.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
“Sesungguhnya sedekah itu tidak halal bagi Muhammad dan juga bagi keluarga Muhammad.”
(HR. Muslim)

 

Penjelasan Hadits

Hadits ini menunjukkan larangan bagi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya (Ahlul Bait) untuk menerima zakat atau sedekah. Hal ini dikarenakan zakat adalah penyucian harta orang-orang yang mampu, dan dalam pandangan Islam, harta yang disedekahkan mengandung kotoran (atau bekas dosa) dari orang yang membayarkannya. Oleh sebab itu, keluarga Nabi sebagai sosok yang memiliki kedudukan mulia tidak diperbolehkan menerima sedekah karena statusnya sebagai harta yang "dibersihkan" dari kotoran manusia.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur'an

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai zakat:

"خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا"
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka."
(QS. At-Taubah: 103)

Ayat ini menegaskan bahwa zakat berfungsi untuk membersihkan harta orang yang memberikannya. Harta yang dikeluarkan sebagai zakat berperan dalam menyucikan jiwa dan melindungi dari sifat kikir. Karena zakat adalah sarana untuk menyucikan orang yang memberikan, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya tidak layak untuk menerimanya, sebab mereka bukanlah orang yang membutuhkan penyucian dari harta duniawi.

 

Dalil Pendukung dari Hadits Lain

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 

"إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ"

"Sesungguhnya sedekah ini hanyalah kotoran (dosa) manusia, dan tidak halal untuk Muhammad dan keluarga Muhammad."
(HR. Muslim no. 1072)

Hadits ini memperkuat penjelasan bahwa zakat atau sedekah bukanlah untuk keluarga Nabi, karena sifatnya sebagai penyuci harta orang lain. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya dijaga dari menerima harta yang semacam itu.

 

Hikmah Larangan Sedekah untuk Keluarga Nabi

1.    Kemuliaan Keluarga Nabi
Larangan ini adalah bentuk penghormatan kepada keluarga Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam (Ahlul Bait). Mereka dijaga dari harta yang dianggap sebagai sisa atau “kotoran” dari harta orang lain.

2.    Membina Kemandirian Keluarga Nabi
Larangan ini juga bertujuan untuk mendorong keluarga Nabi agar mandiri dan tidak bergantung pada sedekah atau zakat. Mereka didorong untuk mengusahakan harta mereka sendiri dan menjaga kedudukan mulia sebagai keluarga Rasulullah.

 

Kisah Para Sahabat dan Ulama

  • Kisah Ali bin Abi Thalib:
    Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, yang termasuk dalam keluarga Nabi, dikenal tidak pernah mengambil zakat atau sedekah. Beliau lebih memilih bekerja keras dan mencari nafkah sendiri meskipun hidup dalam kesederhanaan. Hal ini menunjukkan bahwa beliau sangat menjaga kehormatan keluarga Nabi dengan tidak mengambil sedekah.
  • Sikap Para Ahlul Bait:
    Keluarga Rasulullah dari keturunan beliau, seperti Hasan dan Husain, juga sangat menjaga agar tidak menerima harta zakat atau sedekah. Mereka lebih mengutamakan mencari nafkah secara mandiri, meskipun dalam keadaan sulit, sebagai bagian dari menjaga kemuliaan dan kehormatan keluarga Nabi.

 

Kesimpulan

Hadits ini menegaskan larangan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya untuk menerima zakat atau sedekah. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kemuliaan keluarga Nabi dan menunjukkan bahwa mereka berada di posisi yang lebih mulia daripada sekadar penerima harta penyucian orang lain. Keluarga Nabi didorong untuk bekerja dan mencari nafkah secara mandiri, serta tidak bergantung pada bantuan berupa sedekah dari umat Islam.

 

 

وعَن جَبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : ( مَشَيْتُ انا وعُثْمَانُ بْنُ عَمَّانَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا وو يَا رَسُولَ اللهِ ، اَعْطَيْتَ بَنِي الْمُطَّلِبِ مِنْ حُمُسُ خَيْبَرَ وَتَرَكْتَنَا وَنَحنُ وَهُمْ يَمَنزلةٍ وَاحِدَةٍ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنّما بنو المُطَّلِبِ وَبَنُو هَاشِمٍ شَى وَاحِدٌ) رَوَاهُ الْبُخَارِةُ

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Mut'im radhiyallahu 'anhu ini menggambarkan peristiwa ketika Jabir bin Mut'im dan Utsman bin Affan radhiyallahu 'anhuma datang kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyampaikan protes terkait distribusi harta rampasan (ghanimah) dari Perang Khaibar. Mereka merasa bahwa mereka (Bani Abd Manaf, termasuk Bani Umayyah dan Bani Muththalib) berada dalam kedudukan yang sama dengan Bani Hasyim, tetapi Rasulullah hanya memberikan bagian kepada Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

“Sesungguhnya Bani Muththalib dan Bani Hasyim adalah satu kesatuan.”
(HR. Bukhari)

 

Penjelasan Hadits

Hadits ini berkaitan dengan pembagian harta rampasan perang Khaibar. Setelah kemenangan kaum Muslimin di Khaibar, harta yang diperoleh dari rampasan perang dibagikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para pejuang dan keluarga tertentu. Dalam hal ini, Rasulullah memberikan bagian khusus kepada Bani Muththalib, selain kepada Bani Hasyim.

Jabir bin Mut'im dan Utsman bin Affan, yang berasal dari Bani Umayyah (juga dari keturunan Abd Manaf, sama seperti Bani Hasyim dan Bani Muththalib), bertanya mengapa hanya Bani Muththalib yang mendapatkan bagian khusus dari ghanimah tersebut, padahal mereka merasa kedudukan Bani Umayyah sama dengan Bani Muththalib. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa Bani Muththalib dan Bani Hasyim dianggap sebagai satu kesatuan dalam pandangannya, karena kedekatan hubungan dan persamaan peran dalam mendukung dakwah Islam.

 

Hubungan Bani Hasyim dan Bani Muththalib

Bani Hasyim dan Bani Muththalib adalah dua cabang utama dari keturunan Abd Manaf. Kedua suku ini selalu memiliki hubungan yang sangat erat, terutama dalam mendukung Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masa-masa sulit dakwah Islam. Ketika kaum Quraisy mengisolasi Nabi Muhammad dan pengikutnya dalam peristiwa "Boikot di Lembah Abu Thalib," Bani Muththalib berdiri bersama Bani Hasyim untuk melindungi Rasulullah, meskipun mereka tidak semuanya Muslim pada waktu itu. Tindakan solidaritas ini membuat Rasulullah menganggap kedua suku ini sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang prinsip keadilan dan pembagian harta:

 

"إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ"

"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(QS. At-Taubah: 60)

Meskipun ayat ini berbicara tentang zakat, prinsip distribusi keadilan juga diterapkan dalam pembagian ghanimah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membagikan harta rampasan dengan bijaksana, mempertimbangkan peran dan kontribusi kelompok dalam perjuangan Islam.

 

Dalil dari Hadits Lain

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan betapa pentingnya dukungan Bani Muththalib dan Bani Hasyim dalam dakwahnya:

 

"Sesungguhnya kami (Bani Hasyim) dan Bani Muththalib tidak pernah terpisahkan dalam keadaan jahiliyah maupun dalam Islam."
(HR. Bukhari)

Ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kedua suku ini, baik sebelum maupun setelah datangnya Islam.

 

Pendapat Ulama

Para ulama seperti Imam Nawawi dan Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa keistimewaan Bani Hasyim dan Bani Muththalib dalam hal ini bukanlah bentuk ketidakadilan, melainkan pengakuan atas peran penting mereka dalam mendukung dakwah Rasulullah. Mereka telah menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan yang besar selama masa-masa sulit dakwah, dan ini adalah bentuk penghargaan dari Rasulullah terhadap kontribusi mereka.

 

Hikmah dari Hadits Ini

1.    Pentingnya Loyalitas dan Dukungan
Hadits ini mengajarkan bahwa loyalitas dan dukungan terhadap kebenaran adalah sesuatu yang sangat dihargai. Bani Muththalib, meskipun tidak semua dari mereka beriman pada awalnya, tetap setia mendukung Bani Hasyim dan Rasulullah, dan kesetiaan ini diakui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

2.    Keadilan dalam Pembagian
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan keadilan yang bukan hanya berdasarkan jumlah atau status, tetapi juga mempertimbangkan kontribusi moral dan dukungan dalam perjuangan Islam. Hal ini menjadi pelajaran bagi umat Islam dalam pembagian harta dan sumber daya, bahwa keadilan harus mempertimbangkan banyak aspek, termasuk sejarah kontribusi dan peran dalam perjuangan.

3.    Keharmonisan dan Kesatuan
Hadits ini juga menunjukkan pentingnya menjaga keharmonisan dan persatuan antara kelompok-kelompok dalam Islam. Meskipun ada perbedaan nasab atau cabang keturunan, Rasulullah menekankan bahwa Bani Muththalib dan Bani Hasyim adalah satu kesatuan, mengajarkan kita untuk tidak membiarkan perbedaan kecil merusak persatuan dalam umat.

4.     

Kisah Ulama

Dalam sejarah Islam, terdapat banyak kisah tentang bagaimana para ulama memegang teguh prinsip persatuan ini. Imam Asy-Syafi'i, misalnya, yang berasal dari keturunan Bani Muththalib, selalu menjunjung tinggi kehormatan keluarga Rasulullah dan menunjukkan rasa hormat serta kasih sayang kepada keturunan Bani Hasyim, mencerminkan warisan kesetiaan antara kedua keluarga ini.

 

Kesimpulan

Hadits ini menunjukkan hubungan yang erat antara Bani Hasyim dan Bani Muththalib serta pengakuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap kontribusi mereka dalam mendukung dakwah Islam. Ini juga mengajarkan pentingnya keadilan, loyalitas, dan persatuan dalam Islam, serta bagaimana prinsip-prinsip tersebut diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

وَعَن ابي رافع رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: ( اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَامَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى الصَّدَقَة مِنْ بَنِي مَحْزُومٍ فَقَالَ لابِي رَافِعُ: اصْحَينِي فَإِنَّكَ تُصِيبُ مِنْهَا ، فَقَالَ : حَتَّى أتى النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْأَلَهُ ، فَقَالَ: مَوْلَى الْقَوْمِ مِنْ اَنْفُسِهِمْ ، وَإِنَّهَا لا تَحِلُ لَنَا الصَّدَقَةُ ، رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالثَّلَاثَةُ وَابْنُ خُزَيْمَة وَابْنُ حِبَّانَ

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu ini mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus seorang laki-laki dari Bani Makhzum untuk mengumpulkan zakat. Abu Rafi’ diminta untuk ikut serta dalam pengumpulan zakat tersebut, namun sebelum melaksanakannya, ia meminta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah kemudian memberikan penjelasan bahwa zakat tidak halal bagi keluarga Nabi (Ahlul Bait) dan bahwa maula (budak yang telah dimerdekakan) adalah bagian dari keluarga mereka yang memerdekakan.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, tiga ulama hadits (Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa'i), Ibn Khuzaymah, dan Ibn Hibban.

 

Penjelasan Hadits

1. Larangan Zakat untuk Keluarga Nabi

Dalam hadits ini, Rasulullah menegaskan bahwa zakat tidak halal bagi dirinya dan keluarganya (Ahlul Bait). Ini merupakan prinsip penting dalam syariat Islam yang menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya tidak diperbolehkan menerima zakat. Hal ini disebabkan karena zakat dianggap sebagai "kotoran harta" yang disucikan melalui pengeluaran zakat.

Perkataan Rasulullah dalam hadits ini, "إنها لا تحل لنا الصدقة", menunjukkan bahwa zakat adalah sumber pendapatan yang disucikan bagi umat Muslim, namun keluarga Nabi diharuskan memperoleh pendapatan dari sumber lain, bukan dari zakat yang dianggap sebagai pensucian harta.

 

2. Maula (Budak yang Dimerdekakan) adalah Bagian dari Keluarga

Pernyataan Rasulullah "مولى القوم من أنفسهم" (Maula adalah bagian dari keluarga yang memerdekakannya) menekankan bahwa budak yang telah dimerdekakan memiliki kedudukan yang setara dengan keluarga orang yang memerdekakannya. Dalam konteks ini, Abu Rafi' adalah maula Rasulullah, sehingga ia dianggap bagian dari keluarga Rasulullah, dan karena itu, dia juga dilarang untuk menerima zakat.

Dalam hukum Islam, seorang budak yang dimerdekakan menjadi bagian dari keluarga yang memerdekakannya, baik dari sisi hak-hak sosial maupun dalam perlindungan hukum. Ini adalah salah satu contoh bagaimana Islam memuliakan orang yang dimerdekakan, tidak hanya dengan kebebasan fisik, tetapi juga dengan menjadikannya bagian dari keluarga yang memerdekakan.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur'an

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang penerima zakat:

 

"إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ"

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."
(QS. At-Taubah: 60)

Ayat ini menjelaskan siapa saja yang berhak menerima zakat, dan Ahlul Bait Nabi tidak termasuk dalam golongan tersebut. Oleh karena itu, zakat tidak halal bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya.

 

Dalil dari Hadits Lain

Dalam hadits lain, disebutkan dengan jelas bahwa zakat tidak diperbolehkan bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan keluarganya:

 

"إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ لآلِ مُحَمَّدٍ"

"Sesungguhnya zakat-zakat ini adalah kotoran harta manusia, dan zakat tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad."
(HR. Muslim)

Hadits ini memberikan dasar yang kuat bahwa zakat tidak halal bagi keluarga Nabi karena dianggap sebagai harta yang disucikan melalui pensucian harta orang lain, dan keluarga Nabi harus menjaga kehormatan mereka dengan tidak mengambil bagian dari harta tersebut.

 

Pendapat Ulama

Ulama sepakat bahwa zakat tidak halal bagi Ahlul Bait Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap Sahih Muslim menjelaskan bahwa larangan ini berlaku untuk seluruh keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, karena mereka adalah keluarga Rasulullah.

Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari juga menekankan pentingnya kedudukan Ahlul Bait yang diharamkan menerima zakat sebagai bentuk menjaga kehormatan mereka. Ulama juga menjelaskan bahwa keluarga Rasulullah diberikan sumber lain untuk menopang kehidupan mereka, seperti fai' (harta yang diperoleh tanpa peperangan) atau khumus (seperlima dari rampasan perang).

 

Kisah Ulama dan Penerapan Hadits Ini

Salah satu kisah yang relevan dengan prinsip ini adalah kisah Imam Hasan dan Imam Husain, cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Suatu ketika, salah satu dari mereka mengambil sebuah kurma dari sedekah dan hendak memakannya. Namun, Rasulullah segera melarangnya dan berkata, "Cucuku, jangan makan kurma itu karena berasal dari sedekah. Sedekah tidak halal bagi kami (Ahlul Bait).” Kisah ini menunjukkan betapa tegasnya Rasulullah dalam melarang keluarganya menerima zakat atau sedekah.

 

Hikmah dari Hadits Ini

1.    Kehormatan Ahlul Bait
Hadits ini menekankan kehormatan dan keutamaan keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka tidak diperbolehkan menerima zakat karena zakat adalah bagian dari pensucian harta umat, dan keluarga Rasulullah dipandang berada pada posisi yang lebih mulia dan harus menjaga kesucian diri dari harta yang dianggap "kotor."

2.    Perlakuan terhadap Maula
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan bahwa maula (budak yang telah dimerdekakan) memiliki kedudukan yang sama dengan keluarga orang yang memerdekakannya. Ini adalah salah satu contoh bagaimana Islam mengangkat derajat budak yang telah dimerdekakan dan memberikan mereka hak yang sama dalam keluarga. Prinsip ini menunjukkan bagaimana Islam memuliakan manusia dan memperlakukan mereka dengan keadilan dan kesetaraan.

3.    Penjagaan Kehormatan Harta
Zakat adalah sarana pensucian harta, dan penerimaannya harus didasarkan pada kebutuhan dan kelayakan. Rasulullah menegaskan bahwa keluarganya tidak boleh menerima zakat karena mereka harus diperlakukan dengan cara yang berbeda, yang menjaga kehormatan mereka dan posisi istimewa mereka dalam syariat Islam.

 

Kesimpulan

Hadits ini menekankan dua hal penting: larangan menerima zakat bagi keluarga Nabi (Ahlul Bait) dan status maula (budak yang telah dimerdekakan) yang dianggap sebagai bagian dari keluarga. Hal ini memperlihatkan bagaimana Islam menjaga kehormatan keluarga Nabi dan memberikan perlakuan khusus bagi mereka dalam hal harta. Selain itu, Islam mengajarkan prinsip kesetaraan dan perlindungan bagi budak yang telah dimerdekakan, menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga yang memerdekakan mereka.

 

 

وَعَنْ سَالِمٍ بن عَبدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُعْطِي عُمرَ بْنَ الْخَطَابِ العَطَاء فَيَقُولُ: اعْطِهِ أَفْقَرَ مِنِّي ، فَيَقُولُ: خُذْهُ فَتَمَوَّلُهُ أو تَصَدَّقُ بِهِ ، وَمَا جَاءَ كَ مِنْ هذَا الْمَالِ ، وَاَنْتَ غَيْرُ مُشْرِف وَلَا سَائِلِ فَخُذْهُ وَمَالاً فَلَا تُتَّبِعَهُ نَفْسَكَ رَوَاهُ مُسْلِم

 

Hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu melalui anaknya, Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma ini menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan harta kepada Umar, namun Umar menolak dengan mengatakan, "Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan daripada saya." Rasulullah kemudian bersabda, "Ambillah, gunakan untuk dirimu atau bersedekahlah dengannya. Apa yang datang kepadamu dari harta ini (rezeki yang datang tanpa kamu memintanya), sementara kamu tidak memintanya dan tidak berharap-harap, maka ambillah. Dan jika tidak demikian, maka janganlah hatimu tergantung padanya." Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.

 

Penjelasan Hadits

1. Tawaran Harta kepada Umar dan Reaksi Umar

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan harta kepada Umar bin Al-Khattab, namun Umar menolaknya dengan alasan ada yang lebih membutuhkan daripada dirinya. Ini menunjukkan sifat tawadhu' (rendah hati) dan kehati-hatian Umar dalam menerima harta. Umar merasa bahwa ada orang lain yang lebih berhak menerima harta tersebut.

2. Perintah Rasulullah untuk Menerima Harta

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian memberikan nasihat kepada Umar untuk tetap mengambil harta tersebut dan menggunakan atau menyedekahkannya. Nasihat ini penting, karena Rasulullah ingin menegaskan bahwa harta yang datang kepada seseorang tanpa meminta dan tanpa berharap bukanlah hal yang buruk, selama tidak disalahgunakan. Harta tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebaikan, baik untuk keperluan diri sendiri maupun untuk sedekah.

 

3. Prinsip dalam Menerima Harta

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan prinsip yang jelas dalam hadits ini, yaitu:

  • Ambillah harta yang datang kepadamu tanpa kamu meminta dan berharap-harap (tidak tamak).
  • Jika harta itu datang tanpa diminta, maka boleh diambil dan dimanfaatkan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk disedekahkan.
  • Janganlah hatimu tergantung pada harta (tidak tamak), jangan mengejar-ngejar harta secara berlebihan.

Prinsip ini mencerminkan sikap qana'ah (merasa cukup) dan menghindari sifat tamak dalam mencari harta. Rasulullah mengajarkan bahwa jika seseorang mendapatkan rezeki tanpa harus meminta-minta atau berharap, itu merupakan karunia Allah yang halal untuk diambil, selama dia tidak menjadi tamak dan menggantungkan hidupnya pada harta duniawi.

 

Dalil Pendukung dari Al-Qur'an

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ"
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu."
(QS. Adz-Dzariyat: 22)

Ayat ini menegaskan bahwa rezeki seseorang telah ditentukan oleh Allah dan tidak perlu dikejar secara berlebihan. Jika seseorang menerima rezeki dengan cara yang halal dan tidak meminta-minta, maka itu adalah bagian dari rezekinya yang sudah ditetapkan oleh Allah.

Allah juga berfirman:

"وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ"
"Apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya."
(QS. Saba': 39)

Ini menekankan pentingnya bersedekah dan tidak terlalu bergantung pada harta, karena Allah akan mengganti setiap nafkah yang dikeluarkan dengan kebaikan yang lebih besar.

 

Dalil Pendukung dari Hadits

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 

"لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ"

"Kekayaan bukanlah dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kekayaan hati."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mempertegas bahwa hakikat kekayaan yang sejati adalah kekayaan hati, yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki (qana'ah) dan tidak tamak terhadap harta dunia.

Pendapat Ulama tentang Hadits

Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap Sahih Muslim menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan kebolehan menerima harta jika diberikan tanpa diminta dan tanpa berharap-harap, serta dianjurkan untuk menyedekahkan sebagian dari harta tersebut jika memungkinkan. Selain itu, hadits ini juga menekankan pentingnya menjaga hati dari ketergantungan pada harta duniawi.

Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menambahkan bahwa hadits ini mengajarkan keikhlasan dalam menerima harta, yaitu menerima dengan hati yang tenang tanpa merasa tamak, dan menggunakannya untuk kebaikan diri sendiri atau bersedekah kepada orang lain.

Kisah Ulama yang Relevan

Dalam sejarah Islam, banyak kisah para ulama dan sahabat yang menunjukkan sikap qana'ah dan keikhlasan dalam menerima harta. Salah satu contohnya adalah kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, yang terkenal dengan kedermawanannya. Abu Bakar sering kali mendermakan seluruh hartanya untuk kepentingan Islam dan kaum Muslimin, tanpa memperhitungkan dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa harta yang diterima bisa digunakan untuk tujuan yang lebih besar, yaitu untuk kebaikan dan kepentingan umat.

Hikmah dari Hadits Ini

1.    Qana'ah dan Tawakal Hadits ini mengajarkan sikap qana'ah, yaitu merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, serta tawakal (berserah diri kepada Allah) dalam urusan rezeki. Seorang Muslim dianjurkan untuk tidak tamak terhadap harta dunia, tetapi harus menerima dengan ikhlas apa yang diberikan Allah kepadanya.

2.    Tidak Tamak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan agar tidak tamak terhadap harta dunia. Seseorang yang terus menerus mengejar harta dan bergantung pada harta dunia akan sulit merasa cukup dan puas. Harta yang datang tanpa diminta adalah rezeki dari Allah, namun janganlah hati tergantung pada harta tersebut.

3.    Sedekah sebagai Ibadah Hadits ini juga menekankan pentingnya bersedekah dari harta yang diterima. Rasulullah menyarankan Umar untuk bersedekah dengan harta yang diterimanya. Sedekah adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, karena dapat membersihkan harta dan membawa keberkahan.

4.    Manfaatkan Rezeki yang Halal Seorang Muslim boleh mengambil rezeki yang datang tanpa ia minta, asalkan rezeki tersebut berasal dari sumber yang halal. Rezeki yang datang dari jalan yang halal merupakan karunia dari Allah dan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan diri sendiri maupun untuk membantu orang lain.

 

Kesimpulan

Hadits ini mengajarkan tentang qana'ah, keikhlasan dalam menerima harta, dan pentingnya menghindari sifat tamak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan bahwa rezeki yang datang tanpa diminta adalah anugerah dari Allah yang halal untuk diterima, namun seorang Muslim harus menjaga hatinya agar tidak tergantung pada harta tersebut. Harta yang diterima hendaknya dimanfaatkan untuk kebaikan pribadi atau disedekahkan kepada orang lain.

 

Orang yang berhak menerima zakat ada 8 golongan, tolong jelaskan dan definisikan masing-masing golongan tersebut berikut contoh!

 

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki tujuan untuk membersihkan harta dan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan 8 golongan yang berhak menerima zakat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, surat At-Taubah ayat 60:

 

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Berikut adalah penjelasan masing-masing golongan:

1. Fakir (الْفُقَرَاءِ)

Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta atau pekerjaan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka kekurangan dalam segala hal dan sulit memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti makan, pakaian, dan tempat tinggal.

Contoh:

  • Seorang lansia yang tidak memiliki penghasilan, tidak bisa bekerja, dan tidak memiliki keluarga yang dapat menanggung kebutuhannya.

2. Miskin (الْمَسَاكِينِ)

Miskin adalah orang yang memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Mereka mungkin memiliki pekerjaan, namun penghasilannya hanya cukup untuk sebagian kecil dari kebutuhannya, atau bahkan di bawah itu.

Contoh:

  • Seorang buruh harian yang bekerja, tetapi penghasilannya sangat sedikit sehingga tidak cukup untuk membeli makanan bagi keluarganya selama satu bulan penuh.

3. Amil (الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا)

Amil zakat adalah mereka yang diberi tugas untuk mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat. Mereka berhak menerima zakat sebagai upah atas pekerjaan mereka dalam mengurus zakat.

Contoh:

  • Panitia zakat yang ditugaskan oleh lembaga resmi untuk mengumpulkan zakat, menghitung, mencatat, dan mendistribusikan kepada penerima zakat.

4. Muallaf (الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ)

Muallaf adalah orang yang baru masuk Islam atau orang yang diharapkan akan lebih dekat dengan Islam. Tujuannya adalah untuk menguatkan hati mereka dalam Islam atau mendorong orang lain untuk masuk Islam.

Contoh:

  • Seorang mualaf yang baru masuk Islam dan memerlukan dukungan finansial agar lebih mantap dalam keimanannya, atau pemimpin suku non-Muslim yang berpengaruh di komunitasnya, yang diharapkan bisa membawa banyak orang untuk masuk Islam.

5. Riqab (وَفِي الرِّقَابِ)

Riqab adalah budak atau hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya. Islam sangat menganjurkan pembebasan budak, dan zakat diberikan kepada mereka untuk membantu proses pembebasan tersebut.

Contoh:

  • Seorang budak yang memiliki kesepakatan dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang agar dapat dibebaskan. Zakat bisa digunakan untuk membantu melunasi pembebasan tersebut.

6. Gharim (الْغَارِمِينَ)

Gharim adalah orang yang memiliki hutang dan tidak mampu membayarnya. Hutang tersebut bukanlah untuk hal-hal yang bersifat maksiat, tetapi untuk kebutuhan dasar, seperti makanan, perumahan, atau bantuan untuk orang lain.

Contoh:

  • Seorang kepala keluarga yang meminjam uang untuk pengobatan anaknya yang sakit, tetapi tidak mampu membayar hutang tersebut setelah penghasilannya turun drastis.

7. Fi Sabilillah (فِي سَبِيلِ اللَّهِ)

Fi sabilillah berarti "di jalan Allah," yang mencakup segala bentuk kegiatan yang mendukung tegaknya Islam dan dakwah, seperti pendidikan Islam, pembangunan masjid, jihad, atau kegiatan sosial yang bermanfaat bagi umat.

Contoh:

  • Orang yang berjuang di jalan Allah, seperti para da’i yang menyebarkan dakwah Islam di tempat-tempat yang membutuhkan bantuan finansial untuk operasional mereka.

8. Ibnu Sabil (وَابْنِ السَّبِيلِ)

Ibnu sabil adalah musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan jauh dan kehabisan bekal. Meskipun dia mungkin kaya di negerinya, namun saat dalam perjalanan, dia kehabisan uang dan tidak bisa melanjutkan perjalanannya.

Contoh:

  • Seorang pelajar yang sedang belajar di luar negeri dan kehabisan biaya untuk kembali ke kampung halamannya, meskipun di kampung halamannya dia berasal dari keluarga yang cukup.

Kesimpulan

Distribusi zakat harus dilakukan kepada 8 golongan ini sesuai dengan ketentuan syariat, sehingga zakat tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan masyarakat yang kurang mampu, tetapi juga menjadi sarana untuk memperkuat dan menyebarkan Islam, serta menolong mereka yang berada dalam kesulitan.

 

Dan siapa saja orang yang tidak berhak menerima zakat, tolong jelaskan dan definiskan masing-masing golongan tersebut berikut contoh!

 

Tidak semua orang berhak menerima zakat. Ada beberapa golongan yang dilarang atau tidak diperbolehkan menerima zakat, meskipun mereka mungkin terlihat membutuhkan. Golongan ini telah ditetapkan berdasarkan hadits dan fatwa ulama. Berikut adalah penjelasan masing-masing golongan yang tidak berhak menerima zakat:

1. Keluarga Nabi Muhammad (Ahlul Bait)

Zakat tidak diperbolehkan untuk keluarga Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم (ahlul bait), termasuk keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Zakat dianggap sebagai "kotoran" harta dan tidak pantas diberikan kepada keluarga Nabi.

Dalil: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Sesungguhnya zakat itu tidak halal untuk keluarga Muhammad, karena zakat adalah kotoran manusia."
(HR. Muslim)

Contoh:

  • Keturunan dari Hasan dan Husain (cucu Nabi) atau siapa saja yang merupakan bagian dari keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthalib tidak boleh menerima zakat.

 

2. Orang Kaya

Orang yang memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak berhak menerima zakat. Mereka dianggap tidak memerlukan bantuan finansial dari zakat.

Dalil: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Tidak halal zakat bagi orang kaya, kecuali jika ia adalah salah satu dari lima golongan: amil zakat, orang yang berhutang, orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang membeli barang zakat, atau orang yang miskin yang menerima hadiah dari orang kaya."
(HR. Ahmad)

Contoh:

  • Seseorang yang memiliki penghasilan cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti rumah, kendaraan, dan makanan, tidak diperbolehkan menerima zakat.

 

3. Orang yang mampu bekerja

Orang yang sehat, kuat, dan mampu bekerja, tetapi tidak mau berusaha atau bekerja untuk mendapatkan penghasilan sendiri, tidak berhak menerima zakat. Islam mendorong setiap Muslim untuk bekerja dan berusaha sebaik mungkin sebelum meminta bantuan orang lain.

Dalil: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Orang yang meminta-minta padahal ia kaya, maka ia hanya mengumpulkan bara api di wajahnya pada hari kiamat."
(HR. Bukhari)

Contoh:

  • Seorang pemuda yang sehat secara fisik dan mental, tetapi tidak mau bekerja atau berusaha untuk mencari nafkah, meskipun ia memiliki kesempatan, tidak berhak menerima zakat.

 

4. Hamba Sahaya yang sudah Merdeka

Zakat diberikan kepada budak yang ingin memerdekakan dirinya. Namun, setelah budak tersebut merdeka, mereka tidak lagi berhak menerima zakat, kecuali jika mereka termasuk dalam golongan miskin atau membutuhkan.

Contoh:

  • Seorang mantan hamba sahaya yang telah merdeka dan memiliki cukup harta atau penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya, tidak berhak menerima zakat lagi.

 

5. Orang yang berada dalam tanggungan seseorang

Orang yang berada dalam tanggungan nafkah seseorang, seperti istri atau anak, tidak berhak menerima zakat dari orang yang menanggung nafkahnya. Kewajiban menafkahi mereka sudah dipenuhi oleh penanggung nafkah tersebut.

Dalil: Seorang ayah atau suami wajib menafkahi keluarganya, dan mereka tidak boleh menerima zakat dari orang yang menanggung nafkah mereka.

Contoh:

  • Seorang istri yang sudah ditanggung oleh suaminya secara finansial tidak boleh menerima zakat dari suaminya, karena suami memiliki kewajiban menafkahi.

 

6. Orang Kafir atau Non-Muslim

Zakat hanya diperuntukkan bagi Muslim. Orang non-Muslim tidak berhak menerima zakat, kecuali dalam kasus muallaf, di mana zakat bisa diberikan untuk memperkuat keimanan seseorang yang baru memeluk Islam.

Dalil: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Zakat diambil dari orang-orang kaya di antara mereka (Muslimin) dan diberikan kepada orang-orang miskin di antara mereka."
(HR. Bukhari)

Contoh:

  • Seorang non-Muslim yang miskin tidak boleh diberikan zakat. Namun, dia bisa mendapatkan sedekah atau bantuan sosial lainnya, tapi bukan dari zakat.

 

7. Orang yang Berbuat Maksiat Secara Terang-terangan

Orang yang hidupnya dihabiskan untuk berbuat maksiat dan dosa secara terang-terangan, seperti pencuri, penjudi, atau peminum minuman keras, tidak berhak menerima zakat. Ini adalah bagian dari menjaga kemuliaan zakat agar tidak digunakan untuk mendukung perbuatan dosa.

Contoh:

  • Seorang penjudi yang sering menggunakan uangnya untuk berjudi, meskipun dia miskin, tidak layak diberikan zakat sampai dia berhenti dari kebiasaan buruknya.

 

8. Orang yang Membantu Penyebaran Kebatilan

Orang yang menggunakan dana untuk menyebarkan kesesatan atau hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti orang yang mendukung gerakan sesat atau ajaran yang menyimpang, tidak berhak menerima zakat.

Contoh:

  • Seseorang yang terlibat dalam organisasi yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam tidak boleh menerima zakat.
  •  

Kesimpulan:

Pendistribusian zakat harus dilakukan dengan tepat sesuai syariat Islam. Orang yang tidak memenuhi kriteria sebagai penerima zakat harus dijauhkan dari zakat agar tidak merusak tujuan zakat itu sendiri, yaitu untuk membantu dan mengentaskan kemiskinan serta menyebarkan kebaikan dalam masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KITAB PUASA